Kalau saja tak begitu kejadiannya, kalau bukan aku yang mengalami
peristiwa itu, pasti tak begini jadinya. Pasti tak ada rasa kehilangan dan duka
cita yang mendalam di hati warga dusun Margan Kispu. Aku masih ingat detail
kejadianya. Tapi aku takut mengungkapkan yang sebenarnya. Aku takut Ibu dan
warga yang lain tak menerima kenyataan yang pahit ini. Aku takut mereka akan
menghukumku walau aku tahu ini bukan salahku.
Hari ini
hari Minggu, sekolah kami libur. Aku dan kedua adik kembarku, Maryam dan Mutia
sudah rapi mengenakan pakaian santai, celana panjang warna gelap yang sudan
dimasukkan kedalam sepatu boots kami. Hari ini kami hendak membantu ibu memanen
aneka sayuran di ladang sayur peninggalan bapak. Inilah rutinitas kami sebagai
warga dusun Margan Kispu yang jauh dari keramaian kota. Siang, selepas sekolah
kami –aku dan kedua adikku- makan makanan yang telah diediakan Ibu sebelum
pergi berladang , lantas sholat berjamaah dan pergi ke ladang untuk membantu Ibu.
Kami baru akan pulang kalau matahari sudah tergelincir,atau bahkan saat hari
mulai gelap. Kami memang harus bekerja keras , terlebih sepeninggal bapak.
Jadwal belajar, mengaji, dan membantu ibu telah memenuhi hari-hari kami. Ibu
memang orang yang keras. Terlebih padaku. satu-satunya anak lelaki dan sebagai
anak sulung ibu. Tak ada waktu bermain, hari-hari dipenuhi peraturan, supaya
kami lebih disiplin kata ibu. Namun dibalik itu semua, terlihat dari matanya
yang teduh , Ibu adalah orang yang lembut dan penuh kasih sayang.
Ibu
bergegas mengunci pintu, memimpin kami pergi ke ladang.
“ Ayo
cepat! Mutia, Maryam!” seruku pada kedua
adikku. Mereka memang selalu lambat kalau berjalan. Aku berjalan agak cepat
berusaha menyamai langkah ibu.
“Bu, apa
yang akan kita lakukan nanti bu?” Maryam
bertanya dengan setengah berlari, berusaha menyamai langkah ibu.
“Sudah, kau
lihat saja nanti” kata ibu “ayo cepat! Bergegas!” lanjutnya.
Kami pun melanjutkan
perjalanan dengan tergopoh-gopoh, setengah berlari berusaha menyamai langkah
ibu.
Kami telah sampai di ladang. Dengan sigap aku dan
Maryam mencabut tanaman-tanaman pengganggu dan menyiram tanah yang sudah agak
kering. Ibu dan Mutia memanen sayur yang telah siap dipanen.
“Besok Ibu akan terus berladang sampai malam tiba.
Jangan lupa mengaji dan belajar. Pimpin adik-adikmu itu. Jangan berbuat yang
aneh-aneh seperti tempo hari lagi. Mengerti kau Adi?”
“ Ya Bu, Adi mengerti.”
“ Ya sudah lanjutkan pekerjaan kalian!”
“ Baik Bu.” kami serempak menjawab.
Aku bersama Maryam melanjutkan
pekerjaan kami. Setelah selesai, kami membantu ibu dan Mutia memanen supaya
cepat selesai.
Ladang kami memang luas, kami juga memiliki kebun
yang lumayan luas. Tak heran kalau sore hari kami baru pulang, setelah
sebelumnya ke pasar sayur menitipkan hasil panen kami pada para pedagang sayur
dan buah-buahan. Begitu tiba di rumah, aku, Mutia, dan Maryam segera pergi ke
sungai untuk mandi. Selepas mandi kami pergi mengaji di rumah Ustad Azwar
hingga malam hari. Lalu kami belajar, dan tidur. Jadwal tetap harian kami,
takkan pernah berubah.
Sudah pagi, saatnya pergi ke sekolah. Aku tetap
sekolah ,walaupun banyak anak seusiaku di dusun kami yang sudah putus sekolah
dan ikut bapak ibunya berladang. Tapi bagi ibu, sekolah adalah nomor satu. Jadi
kami harus tetap sekolah walaupun pasti sangat berat bagi ibu untuk mengurus
rumah tangga dan ladang hanya seorang diri. Akupun begitu. Menurutku, sekolah
adalah hal yang paling penting. Hanya saat istirahat sekolah waktuku bermain.
Tak sekolah berarti tak ada waktu bermain, karena kami pasti harus ikut ibu
meladang.
“Hei!” Lukman,
sahabat karibku menepuk pelan bahuku.
“ Oi! Kau mengagetkanku
saja. Ada apa?” balasku.
“ Apa kau tahu
hutan liar di kanan dusun kita?”
“ Ya, aku tahu.
Memangnya kenapa?” semua orang di dusun kami memang tahu hutan liar itu. Tak
terkecuali aku.
“ Apa kau tahu,
apa yang aku lihat di sana kemarin?”
“ Sudah pasti kau
melihat pohon, tak ada sesuatu selain pohon disana.”
“ Oi, bukan itu
maksudku. Ada ‘sesuatu’ lain yang menakjubkan!” Lukman berkata dengan mata
berbinar, seperti melihat sesuatu yang sangat dahsyat.
“ Apa itu? Beri
tahu aku!” aku mulai tak sabar. Lukman memang selalu berbelit-belit.
“ Tebak dulu apa
itu!”
“ Apa itu hewan?
Kau selalu tertarik pada hewan”
“ Ya benar! Kau
harus melihatnya! ada buaya muara yang rupanya terjebak di sungai .”
“ Sungai? Maksudmu
sungai di tengah hutan itu?”
“ Ya. Rupanya dia
terjebak. Kau harus melihatnya, dia sangat besar dan menakjubkan. sebelum dia
menemukan jalan pulang ke rumahnya, kau harus cepat.”
“ Kelihatannya
menakjubkan memang, tapi aku takkan punya waktu bermain, apalagi ke hutan. Itu
mustahil ”.
Sepulang
sekolah, kami melaksanakan kembali kebiasaan rutin kami. Belum ada yang
berubah, hingga saat kami pulang mengaji.
“Maryam,
Mutia, apa kau punya pengalaman bermain ke sana?”
“ Ke hutan
maksud kakak?” Mutia membalas bertanya.
“ Ya. Apa
kau pernah bermain ke sana?” aku mengulang pertanyaanku.
“ Tidak
kak. Aku tak pernah bermain ke sana.” Mutia menjawab.
“ Bagaimana
denganmu Maryam, kau pernah bermain ke sana?” aku bertanya pada Maryam
“ Aku juga
tak pernah kak” Kata Maryam.
“Bagus.
Mari kita ke sana, sekarang.”
“ Kehutan?”
“Malam-
malam begini?” Mutia dan Maryam bertanya hampir bersamaan.
“ Ya. Ayo,
lekas. Kita harus lebih dulu tiba di rumah dari pada ibu.”
“Aku tak
mau ikut kak” Maryam menolak
“ Aku juga
kak. Kami pulang sendiri saja.” Mutia berkata tegas.
“ Tak
boleh, aku takkan membiarkan kalian pulang sendiri. Kita pergi bertiga, pulang
juga harus bertiga.” aku berkata tak kalah tegas. Kutuntun kedua adikku masuk
ke dalam hutan. Kami berjalan bersisihan, menyusuri hutan dengan jantung berdegup kencang. Takut
akan terjadi sesuatu diantara kami.
“ Bukankah ibumu bersama semua orang dewasa
di dusun akan pergi berladang hingga malam hari?”
“ Ya . Memang kenapa?
“ Itulah kesempatanmu bermain. Masuk hutan
melihat buaya muara.”
“ Mungkin, tapi aku takkan menurutimu pergi
kesana”
“ Kenapa? Kau takut?”
“ Tidak” aku menjawab lantang. Aku paling
tidak suka kalau dikatakan penakut oleh siapapun.
“ Lantas mengapa kau tak mau pergi?” Lukman
masih berusaha membujukku
“ Pokoknya aku tak mau. Tak ada alasan yang
bisa diungkapkan, karena aku memang tak mau.” aku menjawab tegas.
“ Berarti benar, kau memang takut.”
“ Tidak, aku tidak takut!”
“ Dasar Adi penakut!”
“ Hei! Apa kau bilang? Aku tak takut!”
mukaku mulai merah, geram
“ Kau penakut! Kalau memang tak takut,
buktikan!”
“ Baik, nanti selepas mengaji, tunggu aku di sana, aku
pasti datang!” aku mengucapkannya diluar kendaliku. Aku sangat emosi dan
tercetuslah janji bodoh itu.
Genggamanku
semakin erat,degup jantung semakin jelas terdengar. Bayangan- bayangan buruk
yang menghantuiku semakin riang menari dan berputar di pikiranku. Sudah tinggal
sepuluh meter saja jarak kami dengan
sungai yang dimaksud. Namun tanda-tanda adanya Lukman masih belum tercium. Aku
semakin ragu untuk melanjutkan perjalanan. Bagaimana tidak, obor, satu-satunya
petunjuk jalan yang kami bawa mati. Tiba-tiba ada angin kencang tadi, sehingga
kami kehilangan penerangan sekarang. Kami berjalan mengikuti kata nurani. Tak
ada yang mengerti jalan pulang, karena kami tak berpengalaman pergi ke tempat
ini. Semakin melangkah, degup jantungku semakin keras. Ada firasat buruk yang
sangat kuat menancap di hatiku. Aku memutuskan untuk berhenti sejenak,
menenangkan diri dan memohon petunjuk pada Allah, kemana kita harus pergi.
“Kak,
kenapa berhenti?”
“ Tak
apa-apa, kakak hanya ingin berpikir sejenak, kira-kira dimana letak rumah
kita.”
“ Kak,
sepertinya kita harus berbalik, kemudian belok ke kiri. Kulihat di depan ada
sungai, tak mungkin kita menyebranginya.” Mutia seakan menjawab keraguanku.
“ Di depan
ada sungai katamu?” aku bertanya pada
Mutia
“Ya.” Mutia
menjawab tanpa keraguan.
“ Baik,
kita akan ke sungai itu” aku bergumam.
“ Sudah
cukup kami menuruti kebodohan kakak untuk masuk hutan, sekarang kita harus
pulang kak!” Maryam berkata dengan lantang, memecah kesunyian.
“ Sebentar
saja, hanya menengok ada apa disana.” aku berkata dengan sedikit ragu.
“ Baik,
hanya melihat!” Mutia memutuskan
“Ya. Hanya
melihat” aku mengiyakan.
Suasana
semakin menegangkan. bagaimana kalau
buaya itu tiba-tiba menyerang kami dari belakang? jantungku berdegup
semakin cepat.
“Apa itu
kak? ada yang mengikuti kita!” Mutia tiba-tiba berseru kencang.
“ BUAYA
!!!” Maryam berseru lantang sekali.
“ LARI!!
CEPAT LARI!! Kalian berdua pulanglah, aku akan menanganinya” aku berseru tak
kalah lantang. Mutia menggenggam tanganku.
“Pulanglah
berdua, aku akan mengalihkan perhatian buaya ini”
“Tidak!
Kita pergi bertiga, pulang juga harus bertiga.” Mutia mengulang ucapanku tadi.
“Sudah
jangan membantah! Pulanglah! Cari pertolongan!” aku setengah mendorong bahu
kedua adikku itu supaya mereka menurut. Kini tinggal aku seorang diri. Buaya
itu sudah lima meter di depanku. Tiba-tiba Lukman menepuk pundakku.
“ Kau sudah
menepati janjimu, sekarang mari kita lawan buaya ini bersama!” Lukman berkata
pelan, nyaris berbisik. Semangatku kembali bersinar, aku punya tim sekarang.
Kesempatan pulang dengan delamat semakin besar. Jarak buaya dengan kami hanya
tiga meter lagi. Mungkin buaya itu sangat lapar, jalannya lamban sekali. Aku
dan Lukman sudah bersiap-siap melawan buaya itu. Kami sudah menggenggam bambu
runcing di satu tangan dan tangan yang lain saling bergandengan erat satu sama
lain.
Jarak buaya
itu sudah satu meter lagi. Dengan modal keberanian yang aku kumpulkan sejak
tadi dan kekuatan penuh, aku tusuk mata kanan buaya itu. Lukman menusuk mata
kiri buaya itu. Tangan kami merah penuh darah, semerah muka kami. Buaya itu tak
berhasil kami lumpuhkan. Ia marah, jalannya semakin cepat tak terkendali. Buaya
itu tiba-tiba membuka mulutnya dengan lebar. kami sudah siap berlari, namun
tiba-tiba kaki Lukman tersandung batu dan jatuh ke belakang. Dengan cepat kaki
Lukman terjebak di antara dua batang pohon besar yang tumbang. Aku berusaha
menariknya, namun aku kalah cepat dengan buaya itu. Dengan sekejap, kulihat
tubuh lukman remuk, hancur, dan akhirnya lenyap ke dalam mulut buaya sialan
itu.
``~~~~~~~~``
Sudah
terhitung tiga hari setelah peristiwa itu. Aku selamat, aku bersyukur karena
itu. Seluruh warga sibuk mencari Lukman sejak tiga hari yang lalu. Mereka tidak
bekerja hanya untuk mencari Lukman, anak Kepala Dusun Margan Kispu. Aku tak
tahu sampai kapan aku akan diam seperti ini, aku takut mengatakan yang
sebenarnya. Aku sudah berjanji pada Lukman, orang yang menyelamatkan nyawaku
malam itu. Permintaan terakhir Lukman, dan janjiku yang terakhir padanya.
Sungguh, aku takkan berkata pada siapapun tentang ini. Aku berjanji.
”Kakiku sekarang sudah terjebak, tak mungkin
bisa kau tarik dengan cepat, mendahului larinya buaya itu. Aku yang memaksamu
ke sini, aku yang harus menanggung semuanya. Pulanglah, jangan perdulikan aku.
Biarkan aku dimakan buaya ini, jangan berkata pada siapapun tentang apa yang
aku lakukan ini. Biarkan aku pergi, jangan kau sakiti buaya ini jika ia
memakanku. Sungguh ini adalah salahku dan aku yang harus menanggung akibatnya.”
“ Takkan ku biarkan kau dimakan buaya itu!”
“ Pulanglah! Biarkan aku menanam kebaikan
dengan menyelamatkanmu sebelum aku pergi. Pulanglah Adi, pulanglah!”
Air mataku menetes. Kubiarkan aku menangis di depan Lukman. Kubiarkan
ia tahu betapa kehilangannya aku padanya. Aku berjanji Lukman, janjiku yang
terakhir padamu, dan bukan janji bodoh seperti saat lalu.
1 comments:
Good
Post a Comment