Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Sang Penyelamat




               
Kalau saja tak begitu kejadiannya, kalau bukan aku yang mengalami peristiwa itu, pasti tak begini jadinya. Pasti tak ada rasa kehilangan dan duka cita yang mendalam di hati warga dusun Margan Kispu. Aku masih ingat detail kejadianya. Tapi aku takut mengungkapkan yang sebenarnya. Aku takut Ibu dan warga yang lain tak menerima kenyataan yang pahit ini. Aku takut mereka akan menghukumku walau aku tahu ini bukan salahku.


Hari ini hari Minggu, sekolah kami libur. Aku dan kedua adik kembarku, Maryam dan Mutia sudah rapi mengenakan pakaian santai, celana panjang warna gelap yang sudan dimasukkan kedalam sepatu boots kami. Hari ini kami hendak membantu ibu memanen aneka sayuran di ladang sayur peninggalan bapak. Inilah rutinitas kami sebagai warga dusun Margan Kispu yang jauh dari keramaian kota. Siang, selepas sekolah kami –aku dan kedua adikku- makan makanan yang telah diediakan Ibu sebelum pergi berladang , lantas sholat berjamaah dan pergi ke ladang untuk membantu Ibu. Kami baru akan pulang kalau matahari sudah tergelincir,atau bahkan saat hari mulai gelap. Kami memang harus bekerja keras , terlebih sepeninggal bapak. Jadwal belajar, mengaji, dan membantu ibu telah memenuhi hari-hari kami. Ibu memang orang yang keras. Terlebih padaku. satu-satunya anak lelaki dan sebagai anak sulung ibu. Tak ada waktu bermain, hari-hari dipenuhi peraturan, supaya kami lebih disiplin kata ibu. Namun dibalik itu semua, terlihat dari matanya yang teduh , Ibu adalah orang yang lembut dan penuh kasih sayang.

Ibu bergegas mengunci pintu, memimpin kami pergi ke ladang.
“ Ayo cepat! Mutia, Maryam!”  seruku pada kedua adikku. Mereka memang selalu lambat kalau berjalan. Aku berjalan agak cepat berusaha menyamai langkah ibu.
“Bu, apa yang akan kita lakukan nanti bu?”  Maryam bertanya dengan setengah berlari, berusaha menyamai langkah ibu.
“Sudah, kau lihat saja nanti” kata ibu “ayo cepat! Bergegas!” lanjutnya.
Kami pun melanjutkan perjalanan dengan tergopoh-gopoh, setengah berlari berusaha menyamai langkah ibu.

                Kami telah sampai di ladang. Dengan sigap aku dan Maryam mencabut tanaman-tanaman pengganggu dan menyiram tanah yang sudah agak kering. Ibu dan Mutia memanen sayur yang telah siap dipanen.
                “Besok Ibu akan terus berladang sampai malam tiba. Jangan lupa mengaji dan belajar. Pimpin adik-adikmu itu. Jangan berbuat yang aneh-aneh seperti tempo hari lagi. Mengerti kau Adi?”
                “ Ya Bu, Adi mengerti.”
                “ Ya sudah lanjutkan pekerjaan kalian!”
                “ Baik Bu.” kami serempak menjawab.
Aku bersama Maryam melanjutkan pekerjaan kami. Setelah selesai, kami membantu ibu dan Mutia memanen supaya cepat selesai.
               
                Ladang kami memang luas, kami juga memiliki kebun yang lumayan luas. Tak heran kalau sore hari kami baru pulang, setelah sebelumnya ke pasar sayur menitipkan hasil panen kami pada para pedagang sayur dan buah-buahan. Begitu tiba di rumah, aku, Mutia, dan Maryam segera pergi ke sungai untuk mandi. Selepas mandi kami pergi mengaji di rumah Ustad Azwar hingga malam hari. Lalu kami belajar, dan tidur. Jadwal tetap harian kami, takkan pernah berubah.

                Sudah pagi, saatnya pergi ke sekolah. Aku tetap sekolah ,walaupun banyak anak seusiaku di dusun kami yang sudah putus sekolah dan ikut bapak ibunya berladang. Tapi bagi ibu, sekolah adalah nomor satu. Jadi kami harus tetap sekolah walaupun pasti sangat berat bagi ibu untuk mengurus rumah tangga dan ladang hanya seorang diri. Akupun begitu. Menurutku, sekolah adalah hal yang paling penting. Hanya saat istirahat sekolah waktuku bermain. Tak sekolah berarti tak ada waktu bermain, karena kami pasti harus ikut ibu meladang. 


                “Hei!” Lukman, sahabat karibku menepuk pelan bahuku.
                “ Oi! Kau mengagetkanku saja. Ada apa?” balasku.
                “ Apa kau tahu hutan liar di kanan dusun kita?”
                “ Ya, aku tahu. Memangnya kenapa?” semua orang di dusun kami memang tahu hutan liar itu. Tak terkecuali aku.
                “ Apa kau tahu, apa yang aku lihat di sana kemarin?”
                “ Sudah pasti kau melihat pohon, tak ada sesuatu selain pohon disana.”
                “ Oi, bukan itu maksudku. Ada ‘sesuatu’ lain yang menakjubkan!” Lukman berkata dengan mata berbinar, seperti melihat sesuatu yang sangat dahsyat.
                “ Apa itu? Beri tahu aku!” aku mulai tak sabar. Lukman memang selalu berbelit-belit.
                “ Tebak dulu apa itu!”
                “ Apa itu hewan? Kau selalu tertarik pada hewan”
                “ Ya benar! Kau harus melihatnya! ada buaya muara yang rupanya terjebak di sungai .”
                “ Sungai? Maksudmu sungai di tengah hutan itu?”
                “ Ya. Rupanya dia terjebak. Kau harus melihatnya, dia sangat besar dan menakjubkan. sebelum dia menemukan jalan pulang ke rumahnya, kau harus cepat.”
                “ Kelihatannya menakjubkan memang, tapi aku takkan punya waktu bermain, apalagi ke hutan. Itu mustahil ”.
 

Sepulang sekolah, kami melaksanakan kembali kebiasaan rutin kami. Belum ada yang berubah, hingga saat kami pulang mengaji.
“Maryam, Mutia, apa kau punya pengalaman bermain ke sana?”
“ Ke hutan maksud kakak?” Mutia membalas bertanya.
“ Ya. Apa kau pernah bermain ke sana?” aku mengulang pertanyaanku.
“ Tidak kak. Aku tak pernah bermain ke sana.” Mutia menjawab.
“ Bagaimana denganmu Maryam, kau pernah bermain ke sana?” aku bertanya pada Maryam
“ Aku juga tak pernah kak” Kata Maryam.
“Bagus. Mari kita ke sana, sekarang.”
“ Kehutan?”
“Malam- malam begini?” Mutia dan Maryam bertanya hampir bersamaan.
“ Ya. Ayo, lekas. Kita harus lebih dulu tiba di rumah dari pada ibu.”
“Aku tak mau ikut kak” Maryam menolak
“ Aku juga kak. Kami pulang sendiri saja.” Mutia berkata tegas.
“ Tak boleh, aku takkan membiarkan kalian pulang sendiri. Kita pergi bertiga, pulang juga harus bertiga.” aku berkata tak kalah tegas. Kutuntun kedua adikku masuk ke dalam hutan. Kami berjalan bersisihan, menyusuri  hutan dengan jantung berdegup kencang. Takut akan terjadi sesuatu diantara kami.


“ Bukankah ibumu bersama semua orang dewasa di dusun akan pergi berladang hingga malam hari?”
“ Ya . Memang kenapa?
“ Itulah kesempatanmu bermain. Masuk hutan melihat buaya muara.”
“ Mungkin, tapi aku takkan menurutimu pergi kesana”
“ Kenapa? Kau takut?”
“ Tidak” aku menjawab lantang. Aku paling tidak suka kalau dikatakan penakut oleh siapapun.
“ Lantas mengapa kau tak mau pergi?” Lukman masih berusaha membujukku
“ Pokoknya aku tak mau. Tak ada alasan yang bisa diungkapkan, karena aku memang tak mau.” aku menjawab tegas.
“ Berarti benar, kau memang takut.”
“ Tidak, aku tidak takut!”
“ Dasar Adi penakut!”
“ Hei! Apa kau bilang? Aku tak takut!” mukaku mulai merah, geram
“ Kau penakut! Kalau memang tak takut, buktikan!”
“ Baik, nanti   selepas mengaji, tunggu aku di sana, aku pasti datang!” aku mengucapkannya diluar kendaliku. Aku sangat emosi dan tercetuslah janji bodoh itu.


Genggamanku semakin erat,degup jantung semakin jelas terdengar. Bayangan- bayangan buruk yang menghantuiku semakin riang menari dan berputar di pikiranku. Sudah tinggal sepuluh meter saja  jarak kami dengan sungai yang dimaksud. Namun tanda-tanda adanya Lukman masih belum tercium. Aku semakin ragu untuk melanjutkan perjalanan. Bagaimana tidak, obor, satu-satunya petunjuk jalan yang kami bawa mati. Tiba-tiba ada angin kencang tadi, sehingga kami kehilangan penerangan sekarang. Kami berjalan mengikuti kata nurani. Tak ada yang mengerti jalan pulang, karena kami tak berpengalaman pergi ke tempat ini. Semakin melangkah, degup jantungku semakin keras. Ada firasat buruk yang sangat kuat menancap di hatiku. Aku memutuskan untuk berhenti sejenak, menenangkan diri dan memohon petunjuk pada Allah, kemana kita harus pergi.
“Kak, kenapa berhenti?”
“ Tak apa-apa, kakak hanya ingin berpikir sejenak, kira-kira dimana letak rumah kita.”
“ Kak, sepertinya kita harus berbalik, kemudian belok ke kiri. Kulihat di depan ada sungai, tak mungkin kita menyebranginya.” Mutia seakan menjawab keraguanku.
“ Di depan ada sungai katamu?”  aku bertanya pada Mutia
“Ya.” Mutia menjawab tanpa keraguan.
“ Baik, kita akan ke sungai itu” aku bergumam.
“ Sudah cukup kami menuruti kebodohan kakak untuk masuk hutan, sekarang kita harus pulang kak!” Maryam berkata dengan lantang, memecah kesunyian.
“ Sebentar saja, hanya menengok ada apa disana.” aku berkata dengan sedikit ragu.
“ Baik, hanya melihat!” Mutia memutuskan
“Ya. Hanya melihat” aku mengiyakan.

Suasana semakin menegangkan. bagaimana kalau buaya itu tiba-tiba menyerang kami dari belakang? jantungku berdegup semakin cepat.
“Apa itu kak? ada yang mengikuti kita!” Mutia tiba-tiba berseru kencang.
“ BUAYA !!!” Maryam berseru lantang sekali.
“ LARI!! CEPAT LARI!! Kalian berdua pulanglah, aku akan menanganinya” aku berseru tak kalah lantang. Mutia menggenggam tanganku.
“Pulanglah berdua, aku akan mengalihkan perhatian buaya ini”
“Tidak! Kita pergi bertiga, pulang juga harus bertiga.” Mutia mengulang ucapanku tadi.
“Sudah jangan membantah! Pulanglah! Cari pertolongan!” aku setengah mendorong bahu kedua adikku itu supaya mereka menurut. Kini tinggal aku seorang diri. Buaya itu sudah lima meter di depanku. Tiba-tiba Lukman menepuk pundakku.
“ Kau sudah menepati janjimu, sekarang mari kita lawan buaya ini bersama!” Lukman berkata pelan, nyaris berbisik. Semangatku kembali bersinar, aku punya tim sekarang. Kesempatan pulang dengan delamat semakin besar. Jarak buaya dengan kami hanya tiga meter lagi. Mungkin buaya itu sangat lapar, jalannya lamban sekali. Aku dan Lukman sudah bersiap-siap melawan buaya itu. Kami sudah menggenggam bambu runcing di satu tangan dan tangan yang lain saling bergandengan erat satu sama lain.

Jarak buaya itu sudah satu meter lagi. Dengan modal keberanian yang aku kumpulkan sejak tadi dan kekuatan penuh, aku tusuk mata kanan buaya itu. Lukman menusuk mata kiri buaya itu. Tangan kami merah penuh darah, semerah muka kami. Buaya itu tak berhasil kami lumpuhkan. Ia marah, jalannya semakin cepat tak terkendali. Buaya itu tiba-tiba membuka mulutnya dengan lebar. kami sudah siap berlari, namun tiba-tiba kaki Lukman tersandung batu dan jatuh ke belakang. Dengan cepat kaki Lukman terjebak di antara dua batang pohon besar yang tumbang. Aku berusaha menariknya, namun aku kalah cepat dengan buaya itu. Dengan sekejap, kulihat tubuh lukman remuk, hancur, dan akhirnya lenyap ke dalam mulut buaya sialan itu.

``~~~~~~~~``

Sudah terhitung tiga hari setelah peristiwa itu. Aku selamat, aku bersyukur karena itu. Seluruh warga sibuk mencari Lukman sejak tiga hari yang lalu. Mereka tidak bekerja hanya untuk mencari Lukman, anak Kepala Dusun Margan Kispu. Aku tak tahu sampai kapan aku akan diam seperti ini, aku takut mengatakan yang sebenarnya. Aku sudah berjanji pada Lukman, orang yang menyelamatkan nyawaku malam itu. Permintaan terakhir Lukman, dan janjiku yang terakhir padanya. Sungguh, aku takkan berkata pada siapapun tentang ini. Aku berjanji.


”Kakiku sekarang sudah terjebak, tak mungkin bisa kau tarik dengan cepat, mendahului larinya buaya itu. Aku yang memaksamu ke sini, aku yang harus menanggung semuanya. Pulanglah, jangan perdulikan aku. Biarkan aku dimakan buaya ini, jangan berkata pada siapapun tentang apa yang aku lakukan ini. Biarkan aku pergi, jangan kau sakiti buaya ini jika ia memakanku. Sungguh ini adalah salahku dan aku yang harus menanggung akibatnya.”
“ Takkan ku biarkan kau dimakan buaya itu!”
“ Pulanglah! Biarkan aku menanam kebaikan dengan menyelamatkanmu sebelum aku pergi. Pulanglah Adi, pulanglah!”
Air mataku menetes. Kubiarkan aku menangis di depan Lukman. Kubiarkan ia tahu betapa kehilangannya aku padanya. Aku berjanji Lukman, janjiku yang terakhir padamu, dan bukan janji bodoh seperti saat lalu.



1 comments:

Post a Comment