Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

#puisi "Remaja"


Remaja
Kita adalah pujangga
Wajah yang tersirat
Tulus dan penuh arti
Kitalah penyongsog
Masa diatas yang tertua

Remaja
Walau jatuh, kita tetaplah kembang
Masa emas bukanlah mimpi
Walau harus terbang
Apalah arti mimpi
Tanpa cinta yang tulus, putih

Remaja
wajah kan menatap seribu mentari
tangan kan genggam sejuta bintang
kita kan terus berjalan, menggapai pelangi

Remaja
Walau badai dan petir menghampiri
Selalu dengan hati senjata diri
Kitalah gagak yang perkasa
Kitalah burung yang bebas
Kita. Adalah kupu-kupu yang indah
>>Read_More

#puisi "Dendam"


Busukmu telah kucium
Dari galaksi abu-abuku ini
Dengan lukisan permata putih
Hanya deras yang megucur

Kau tak butuh kain hitam itu
Aku tlah sampai di sini
Meninggalkan awan gelapku
Tak akan padam kobaran merah ini
Sebelum meledak pengadilan biru tua

Kau adalah dewa kegelapan
Kau dan semua bayangmu!
Tak akan berarti secuil batu ini
Hingga bumi mengayun dan bergoyang
Memuntahkan kau dan semua bayangmu

Kini, aku tlah terbang bersama bayangku
Menari di galaksi yang tak lagi kelabu
Di atas lautan mimpi biru indahku
Walau hanya secuil batu
Terbukti sudah cahaya emasku

>>Read_More

#Puisi "Pesan Pada Sang Surya"


Desah lirih
Dalam hati, suaraku memanggil
Dalam gelap, berlari, mengejar
Berusaha menggapai
Walau hanya angin lalu

Terasa dalam jiwa
Gundah, resah, terhanyut
Dalam lautan keraguan
Tenggelam hingga ke dasar
Tak mampu kembali
Walau hanya tuk sejengkal

Aku ingin kau mendengarku
Hanya kau, bintang tidurku
Sampaikan pesanku pada awan
Yang menutup cahaya siangku

Pergilah, kejarlah
Mentari yang berlalu
Sampaikan semuanya
Tumpahkan segala emosimu
>>Read_More

Sang Penyelamat




               
Kalau saja tak begitu kejadiannya, kalau bukan aku yang mengalami peristiwa itu, pasti tak begini jadinya. Pasti tak ada rasa kehilangan dan duka cita yang mendalam di hati warga dusun Margan Kispu. Aku masih ingat detail kejadianya. Tapi aku takut mengungkapkan yang sebenarnya. Aku takut Ibu dan warga yang lain tak menerima kenyataan yang pahit ini. Aku takut mereka akan menghukumku walau aku tahu ini bukan salahku.


Hari ini hari Minggu, sekolah kami libur. Aku dan kedua adik kembarku, Maryam dan Mutia sudah rapi mengenakan pakaian santai, celana panjang warna gelap yang sudan dimasukkan kedalam sepatu boots kami. Hari ini kami hendak membantu ibu memanen aneka sayuran di ladang sayur peninggalan bapak. Inilah rutinitas kami sebagai warga dusun Margan Kispu yang jauh dari keramaian kota. Siang, selepas sekolah kami –aku dan kedua adikku- makan makanan yang telah diediakan Ibu sebelum pergi berladang , lantas sholat berjamaah dan pergi ke ladang untuk membantu Ibu. Kami baru akan pulang kalau matahari sudah tergelincir,atau bahkan saat hari mulai gelap. Kami memang harus bekerja keras , terlebih sepeninggal bapak. Jadwal belajar, mengaji, dan membantu ibu telah memenuhi hari-hari kami. Ibu memang orang yang keras. Terlebih padaku. satu-satunya anak lelaki dan sebagai anak sulung ibu. Tak ada waktu bermain, hari-hari dipenuhi peraturan, supaya kami lebih disiplin kata ibu. Namun dibalik itu semua, terlihat dari matanya yang teduh , Ibu adalah orang yang lembut dan penuh kasih sayang.

Ibu bergegas mengunci pintu, memimpin kami pergi ke ladang.
“ Ayo cepat! Mutia, Maryam!”  seruku pada kedua adikku. Mereka memang selalu lambat kalau berjalan. Aku berjalan agak cepat berusaha menyamai langkah ibu.
“Bu, apa yang akan kita lakukan nanti bu?”  Maryam bertanya dengan setengah berlari, berusaha menyamai langkah ibu.
“Sudah, kau lihat saja nanti” kata ibu “ayo cepat! Bergegas!” lanjutnya.
Kami pun melanjutkan perjalanan dengan tergopoh-gopoh, setengah berlari berusaha menyamai langkah ibu.

                Kami telah sampai di ladang. Dengan sigap aku dan Maryam mencabut tanaman-tanaman pengganggu dan menyiram tanah yang sudah agak kering. Ibu dan Mutia memanen sayur yang telah siap dipanen.
                “Besok Ibu akan terus berladang sampai malam tiba. Jangan lupa mengaji dan belajar. Pimpin adik-adikmu itu. Jangan berbuat yang aneh-aneh seperti tempo hari lagi. Mengerti kau Adi?”
                “ Ya Bu, Adi mengerti.”
                “ Ya sudah lanjutkan pekerjaan kalian!”
                “ Baik Bu.” kami serempak menjawab.
Aku bersama Maryam melanjutkan pekerjaan kami. Setelah selesai, kami membantu ibu dan Mutia memanen supaya cepat selesai.
               
                Ladang kami memang luas, kami juga memiliki kebun yang lumayan luas. Tak heran kalau sore hari kami baru pulang, setelah sebelumnya ke pasar sayur menitipkan hasil panen kami pada para pedagang sayur dan buah-buahan. Begitu tiba di rumah, aku, Mutia, dan Maryam segera pergi ke sungai untuk mandi. Selepas mandi kami pergi mengaji di rumah Ustad Azwar hingga malam hari. Lalu kami belajar, dan tidur. Jadwal tetap harian kami, takkan pernah berubah.

                Sudah pagi, saatnya pergi ke sekolah. Aku tetap sekolah ,walaupun banyak anak seusiaku di dusun kami yang sudah putus sekolah dan ikut bapak ibunya berladang. Tapi bagi ibu, sekolah adalah nomor satu. Jadi kami harus tetap sekolah walaupun pasti sangat berat bagi ibu untuk mengurus rumah tangga dan ladang hanya seorang diri. Akupun begitu. Menurutku, sekolah adalah hal yang paling penting. Hanya saat istirahat sekolah waktuku bermain. Tak sekolah berarti tak ada waktu bermain, karena kami pasti harus ikut ibu meladang. 


                “Hei!” Lukman, sahabat karibku menepuk pelan bahuku.
                “ Oi! Kau mengagetkanku saja. Ada apa?” balasku.
                “ Apa kau tahu hutan liar di kanan dusun kita?”
                “ Ya, aku tahu. Memangnya kenapa?” semua orang di dusun kami memang tahu hutan liar itu. Tak terkecuali aku.
                “ Apa kau tahu, apa yang aku lihat di sana kemarin?”
                “ Sudah pasti kau melihat pohon, tak ada sesuatu selain pohon disana.”
                “ Oi, bukan itu maksudku. Ada ‘sesuatu’ lain yang menakjubkan!” Lukman berkata dengan mata berbinar, seperti melihat sesuatu yang sangat dahsyat.
                “ Apa itu? Beri tahu aku!” aku mulai tak sabar. Lukman memang selalu berbelit-belit.
                “ Tebak dulu apa itu!”
                “ Apa itu hewan? Kau selalu tertarik pada hewan”
                “ Ya benar! Kau harus melihatnya! ada buaya muara yang rupanya terjebak di sungai .”
                “ Sungai? Maksudmu sungai di tengah hutan itu?”
                “ Ya. Rupanya dia terjebak. Kau harus melihatnya, dia sangat besar dan menakjubkan. sebelum dia menemukan jalan pulang ke rumahnya, kau harus cepat.”
                “ Kelihatannya menakjubkan memang, tapi aku takkan punya waktu bermain, apalagi ke hutan. Itu mustahil ”.
 

Sepulang sekolah, kami melaksanakan kembali kebiasaan rutin kami. Belum ada yang berubah, hingga saat kami pulang mengaji.
“Maryam, Mutia, apa kau punya pengalaman bermain ke sana?”
“ Ke hutan maksud kakak?” Mutia membalas bertanya.
“ Ya. Apa kau pernah bermain ke sana?” aku mengulang pertanyaanku.
“ Tidak kak. Aku tak pernah bermain ke sana.” Mutia menjawab.
“ Bagaimana denganmu Maryam, kau pernah bermain ke sana?” aku bertanya pada Maryam
“ Aku juga tak pernah kak” Kata Maryam.
“Bagus. Mari kita ke sana, sekarang.”
“ Kehutan?”
“Malam- malam begini?” Mutia dan Maryam bertanya hampir bersamaan.
“ Ya. Ayo, lekas. Kita harus lebih dulu tiba di rumah dari pada ibu.”
“Aku tak mau ikut kak” Maryam menolak
“ Aku juga kak. Kami pulang sendiri saja.” Mutia berkata tegas.
“ Tak boleh, aku takkan membiarkan kalian pulang sendiri. Kita pergi bertiga, pulang juga harus bertiga.” aku berkata tak kalah tegas. Kutuntun kedua adikku masuk ke dalam hutan. Kami berjalan bersisihan, menyusuri  hutan dengan jantung berdegup kencang. Takut akan terjadi sesuatu diantara kami.


“ Bukankah ibumu bersama semua orang dewasa di dusun akan pergi berladang hingga malam hari?”
“ Ya . Memang kenapa?
“ Itulah kesempatanmu bermain. Masuk hutan melihat buaya muara.”
“ Mungkin, tapi aku takkan menurutimu pergi kesana”
“ Kenapa? Kau takut?”
“ Tidak” aku menjawab lantang. Aku paling tidak suka kalau dikatakan penakut oleh siapapun.
“ Lantas mengapa kau tak mau pergi?” Lukman masih berusaha membujukku
“ Pokoknya aku tak mau. Tak ada alasan yang bisa diungkapkan, karena aku memang tak mau.” aku menjawab tegas.
“ Berarti benar, kau memang takut.”
“ Tidak, aku tidak takut!”
“ Dasar Adi penakut!”
“ Hei! Apa kau bilang? Aku tak takut!” mukaku mulai merah, geram
“ Kau penakut! Kalau memang tak takut, buktikan!”
“ Baik, nanti   selepas mengaji, tunggu aku di sana, aku pasti datang!” aku mengucapkannya diluar kendaliku. Aku sangat emosi dan tercetuslah janji bodoh itu.


Genggamanku semakin erat,degup jantung semakin jelas terdengar. Bayangan- bayangan buruk yang menghantuiku semakin riang menari dan berputar di pikiranku. Sudah tinggal sepuluh meter saja  jarak kami dengan sungai yang dimaksud. Namun tanda-tanda adanya Lukman masih belum tercium. Aku semakin ragu untuk melanjutkan perjalanan. Bagaimana tidak, obor, satu-satunya petunjuk jalan yang kami bawa mati. Tiba-tiba ada angin kencang tadi, sehingga kami kehilangan penerangan sekarang. Kami berjalan mengikuti kata nurani. Tak ada yang mengerti jalan pulang, karena kami tak berpengalaman pergi ke tempat ini. Semakin melangkah, degup jantungku semakin keras. Ada firasat buruk yang sangat kuat menancap di hatiku. Aku memutuskan untuk berhenti sejenak, menenangkan diri dan memohon petunjuk pada Allah, kemana kita harus pergi.
“Kak, kenapa berhenti?”
“ Tak apa-apa, kakak hanya ingin berpikir sejenak, kira-kira dimana letak rumah kita.”
“ Kak, sepertinya kita harus berbalik, kemudian belok ke kiri. Kulihat di depan ada sungai, tak mungkin kita menyebranginya.” Mutia seakan menjawab keraguanku.
“ Di depan ada sungai katamu?”  aku bertanya pada Mutia
“Ya.” Mutia menjawab tanpa keraguan.
“ Baik, kita akan ke sungai itu” aku bergumam.
“ Sudah cukup kami menuruti kebodohan kakak untuk masuk hutan, sekarang kita harus pulang kak!” Maryam berkata dengan lantang, memecah kesunyian.
“ Sebentar saja, hanya menengok ada apa disana.” aku berkata dengan sedikit ragu.
“ Baik, hanya melihat!” Mutia memutuskan
“Ya. Hanya melihat” aku mengiyakan.

Suasana semakin menegangkan. bagaimana kalau buaya itu tiba-tiba menyerang kami dari belakang? jantungku berdegup semakin cepat.
“Apa itu kak? ada yang mengikuti kita!” Mutia tiba-tiba berseru kencang.
“ BUAYA !!!” Maryam berseru lantang sekali.
“ LARI!! CEPAT LARI!! Kalian berdua pulanglah, aku akan menanganinya” aku berseru tak kalah lantang. Mutia menggenggam tanganku.
“Pulanglah berdua, aku akan mengalihkan perhatian buaya ini”
“Tidak! Kita pergi bertiga, pulang juga harus bertiga.” Mutia mengulang ucapanku tadi.
“Sudah jangan membantah! Pulanglah! Cari pertolongan!” aku setengah mendorong bahu kedua adikku itu supaya mereka menurut. Kini tinggal aku seorang diri. Buaya itu sudah lima meter di depanku. Tiba-tiba Lukman menepuk pundakku.
“ Kau sudah menepati janjimu, sekarang mari kita lawan buaya ini bersama!” Lukman berkata pelan, nyaris berbisik. Semangatku kembali bersinar, aku punya tim sekarang. Kesempatan pulang dengan delamat semakin besar. Jarak buaya dengan kami hanya tiga meter lagi. Mungkin buaya itu sangat lapar, jalannya lamban sekali. Aku dan Lukman sudah bersiap-siap melawan buaya itu. Kami sudah menggenggam bambu runcing di satu tangan dan tangan yang lain saling bergandengan erat satu sama lain.

Jarak buaya itu sudah satu meter lagi. Dengan modal keberanian yang aku kumpulkan sejak tadi dan kekuatan penuh, aku tusuk mata kanan buaya itu. Lukman menusuk mata kiri buaya itu. Tangan kami merah penuh darah, semerah muka kami. Buaya itu tak berhasil kami lumpuhkan. Ia marah, jalannya semakin cepat tak terkendali. Buaya itu tiba-tiba membuka mulutnya dengan lebar. kami sudah siap berlari, namun tiba-tiba kaki Lukman tersandung batu dan jatuh ke belakang. Dengan cepat kaki Lukman terjebak di antara dua batang pohon besar yang tumbang. Aku berusaha menariknya, namun aku kalah cepat dengan buaya itu. Dengan sekejap, kulihat tubuh lukman remuk, hancur, dan akhirnya lenyap ke dalam mulut buaya sialan itu.

``~~~~~~~~``

Sudah terhitung tiga hari setelah peristiwa itu. Aku selamat, aku bersyukur karena itu. Seluruh warga sibuk mencari Lukman sejak tiga hari yang lalu. Mereka tidak bekerja hanya untuk mencari Lukman, anak Kepala Dusun Margan Kispu. Aku tak tahu sampai kapan aku akan diam seperti ini, aku takut mengatakan yang sebenarnya. Aku sudah berjanji pada Lukman, orang yang menyelamatkan nyawaku malam itu. Permintaan terakhir Lukman, dan janjiku yang terakhir padanya. Sungguh, aku takkan berkata pada siapapun tentang ini. Aku berjanji.


”Kakiku sekarang sudah terjebak, tak mungkin bisa kau tarik dengan cepat, mendahului larinya buaya itu. Aku yang memaksamu ke sini, aku yang harus menanggung semuanya. Pulanglah, jangan perdulikan aku. Biarkan aku dimakan buaya ini, jangan berkata pada siapapun tentang apa yang aku lakukan ini. Biarkan aku pergi, jangan kau sakiti buaya ini jika ia memakanku. Sungguh ini adalah salahku dan aku yang harus menanggung akibatnya.”
“ Takkan ku biarkan kau dimakan buaya itu!”
“ Pulanglah! Biarkan aku menanam kebaikan dengan menyelamatkanmu sebelum aku pergi. Pulanglah Adi, pulanglah!”
Air mataku menetes. Kubiarkan aku menangis di depan Lukman. Kubiarkan ia tahu betapa kehilangannya aku padanya. Aku berjanji Lukman, janjiku yang terakhir padamu, dan bukan janji bodoh seperti saat lalu.



>>Read_More

Merokok Memutuskan Kalian dari Setiap Kebaikan






Merokok Memutuskan Kalian dari Setiap Kebaikan
Sultan Awilya Syaikh Muhammad Nazim Adil Al-Haqqani
Dari Buku Mercy Oceans - Divine Sources.





Bismillahir Rohmaanir Rohim

seseorang bertanya kepada teman-temannya yang baru menjadi muslim bagaimana dia berusaha sukses untuk hidup sebagai muslim. Dan dia menjawab: "Saya baik-baik saja, saya sudah mulai sholat dan puasa sesuai perintah Allah dan telah meninggalkan banyak perilaku larangan utama. Hanya satu masalah yang tersisa sampai sekarang adalah ketidak mampuan saya untuk berhenti merokok."

Lihat, merokok dari sisi umum dan kebanyakan orang, khususnya sisi kaum muslim, mereka menganggap merokok sebagai sesuatu yang tidak atau sedikit berpengaruh pada karakter seseorang. Karena mereka menganggap kecil atau tidak berpengaruh pada kehidupan agama mereka, maka kaum muslim merokok lebih banyak dari kaum yang lain, bahkan mereka merokok seperti cerobong asap.

Saat anda menerima Islam, anda mampu meninggalkan semua perilaku yang paling sangat diharamkan, dan itu sangat baik, tidak semua orang bisa melakukannya dengan mudah. Apalagi langsung berubah setelah anda menerima kepercayaan Islam. Hanya satu masalah besar kata anda, yaitu kecanduan anda pada tembakau, hingga merokok menguasai hati kalian, sampai tingkat tertentu dimana meninggalkan merokok adalah suatu perjuangan yang tidak mungkin anda menjadi pemenangnya.

GrandSyaikh Abdullah Faiz Ad-Daghistani qs (semoga Allah meridhoi beliau) sering berkata bahwa merokok, meskipun tidak berarti menurut pandangan orang, sebenarnya pada kenyataan adalah salah satu kelemahan terbesar orang yang beriman, karena kebiasaan merokok membiarkan korbannya sama sekali kehilangan kekuatan untuk berkeinginan.

Rokok menjebak orang dan merusak kemauannya dengan suatu cara pasti, dimana kalau orang tidak bisa berhenti dari kebiasaan buruk merokok, maka suatu hari merokok akan memutusnya dari setiap kebaikan yang dilakukannya, bahkan dari ke Imanannya dan kepercayaannya.

Hal inilah yang menjadi alasan pokok untuk berhenti dari kebiasaan merokok diantara banyak alasan kuat lainnya. Kalian harus meninggalkan kebiasaan merokok dengan segera dan selamanya sehingga kemauan akan tumbuh lagi, dan melindunginya untuk jatuh dalam control orang lain. Maksud saya dengan "lain", adalah kemauan/keinginan rendah orang itu dan setan, yang berdiri dibelakang sebagai penasehat kejahatan bagi ego. Siapapun yang tidak mampu menguasai dirinya akan beralih ke tangan nafsu binatangnya dan nafsu Setan, yang siap menghancurkan sisi manusia dari ruhani anda.

Allah Yang Maha Kuasa berfirman dalam Kitab Al Qur'an: "Oh Umatku, kalian akan melihat sesuatu sebagai hal yang tidak berakibat besar bagi kalian, tetapi dihadapanKu hal itu sangat berbahaya dan berakibat besar." Sekarang merokok bagi kaum Muslim tampaknya tidak masalah, tapi dihadapan Allah Yang Maha Kuasa hal itu adalah suatu kelemahan fatal untuk orang yang beriman.

Merokok bagi orang yang beriman adalalah bagaikan kalian membiarkan lubang kecil di pintu yang dapat dilewati maling. Sekarang anda sudah menutup semua pintu-pintu untuk melakukan dosa besar yang dilarang Allah, tapi apa artinya kalau lubang kecil itu tetap ada? Apa maksud keberadaan sebuah pintu seperti itu? Lebih baik dibiarkan saja terbuka lebar untuk semua kebaikan yang akan masuk. Mungkin anda akan berkata: "Pintu itu tebal dan saya sudah menutup dan menguncinya dengan kuat, apalah arti sebuah lubang kecil, itu tidak masalah."

Apa yang tidak masalah? Kalian bilang tidak masalah, tetapi lihat, maling dapat membuka pintu dengan memasukkan kawat melalui lubang tadi dan dia lari dengan mengambil semua hartamu! Maka, kalau seseorang membiarkan lubang seperti itu untuk masuk dan berkuasanya setan, maka ia akan mempertaruhkan kepercayaannya dan keimanannya dalam bahaya besar. Maka orang itu berkata pada temannya: Kamu telah meninggalkan begitu banyak larangan yang tidak disenangi Tuhan. Kamu telah mengunci semua pintunya, sekarang kamu harus berpikir apa yang bisa dilakukan soal lubang kecil dipintumu yang disebabkan rokok tersebut.

Wa min Allah at Tawfiq


>>Read_More

"Boleh Jadi, Kau Membenci Sesuatu, Padahal Ia Amat Baik Bagimu"




Dahulu, sebelum ada vaksinasi, cacar adalah salah satu penyakit yang tersebar di mana-mana, dan atas kehendak Allah Yang Maha Hidup dan Maha Mengurus segala sesuatu, sering kali (penyakit cacar itu) mengakibatkan kematian di kalangan masyarakat.
Syahdan, di antara mereka ada yang terjangkit bencana ini; seorang lelaki berumur 6 tahun dari sebuah dusun di utara kota Buraidah di wilayah Al-Qashim. Peristiwa ini terjadi di abad 14 H. Akibatnya, ia mengalami kebutaan total dan berwajah bopeng.

Anak ini tinggal di tengah saudara-saudaranya yang bekerja sebagai petani di sawah. Dia sering berlari-lari di belakang mereka, hendak mengejar mereka saat berjalan bersama. Akan tetapi, tentu saja hal ini sering kali menyebabkannya tersandung dan terjerembab di mana-mana, lalu terluka. Namun, ia segera bangkit mengejar arah datangnya suara mereka, lalu ia menabrak pohon di mana-mana, sementara saudara-saudaranya hanya menertawainya ketika ia jatuh, bahkan (mereka) mengejeknya, “Buta …! Buta …!”

Mereka tidak peduli dan tidak menanyakan apabila dia tidak ada dan (mereka) bersikap acuh kalau dia ada di tengah mereka. Bahkan, di kala orang tuanya tidak ada dirumah, sering kali ia menjadi bulan-bulanan saudara-saudaranya, yaitu ketika dia disuruh berjalan lalu terantuk dan terjatuh, maka ia menjadi bahan tertawaan. Meskipun demikian, dia termasuk anak yang lincah dan gerakannya ringan. Kemauannya keras dan mempunyai ketabahan, dan Allah telah mengaruniakan kepadanya kecerdasan dan kemauan yang keras. Dia selalu berupaya melakukan apa saja yang dia mau. Dia ingin mengerjakan lebih banyak daripada yang dilakukan orang normal.
Ayahnya adalah orang yang miskin. Dia memandang anaknya yang buta ini hanya menjadi beban saja, karena dia tidak mendapatkan manfaat dan keuntungan darinya sebagaimana saudara-saudaranya yang lain.

Suatu hari, salah seorang temannya datang ke rumah. Sudah beberapa tahun mereka tidak jumpa. Dia lalu mengadukan kepada temannya tersebut perihal anaknya yang buta bahwa anak itu tidak berguna, bahkan mereka sekeluarga selalu sibuk mengurus dan melayaninya, sehingga menghambat sebagian pekerjaan mereka. Tamu tersebut menyarankan agar anak itu dikirim ke Riyadh agar mendapat jaminan makanan dari jamuan yang selalu diadakan oleh Ibnu Sa’ud (Setelah keamanan dalam negeri di seluruh Jazirah Arab terkendali di tangan Raja Abdul ‘Aziz rahimahullah, dia mengadakan jamuan khusus untuk memberi makan kaum fakir miskin dan orang orang terlantar. Pada masa itu, jamuan tersebut sangat terkenal), sehingga (ia) akan selalu bertemu dengan orang orang yang mengasihinya setiap saat.

Ide tersebut diterima dengan baik oleh ayahnya. Ketika ada seorang tukang unta tampak sedang membuat kayu ke atas punggung untanya yang biasanya menjual barang dagangan di Riyadh, ayahnya menghampiri tukang unta dan berkata, “Aku hendak menitipkan anakku ini padamu. Bawalah dia pergi ke Riyadh dan saya beri kamu dua riyal, dengan syarat: kamu taruh dia di masjid, dan kamu tunjukkan di mana letak jamuan makan dan sumur masjid agar dia bisa minum dan berwudhu, dan serahkan dia kepada orang yang mau berbuat kebajikan kepadanya.”

Berikut ini penuturan kisah sang anak setelah (ia) dewasa,

Aku dipanggil ayahku -rahimahullah-. Pada waktu iu, umurku baru mendekati 13 tahun. Beliau berkata, “Anakku, di Riyadh itu ada halaqah-halaqah ilmu, ada jamuan makan yang akan memberimu makan malam setiap hari, dan lain sebagainya. Kamu akan betah disana, insya Allah. Kamu akan ayah titipkan pada orang ini. Dia akan memberitahu kamu apa saja yang kamu inginkan ….”

Tentu saja, aku menangis keras-keras dan mengatakan, “Benarkah orang sepertiku tidak memerlukan lagi keluarga? Bagaimana mungkin aku berpisah dengan ibuku, saudara-saudara, dan orang orang yang aku sayangi? Bagaimana aku akan mengurus diriku di negeri yang sama sekali asing bagiku, sedangkan di tengah keluargaku saja aku mengalami kesulitan? Aku tidak mau!”

Aku dibentak oleh ayahku. Beliau berkata kasar kepadaku. Selanjutanya, beliau memberiku pakaian-pakaianku seraya berkata,“Tawakal kepada Allah dan pergilah …. Kalau tidak, kamu akan aku begini dan begini ….”
Suara tangisku makin keras, sementara saudara-saudaraku hanya diam saja di sekelilingku. Selanjutnya, aku dibimbing oleh si tukang unta sambil menjanjikan kepadaku hal-hal yang baik baik dan meyakinkan aku bahwa aku akan hidup enak di sana.

Aku pun berjalan sambil tetap menangis. Tukang unta itu menyuruh aku berpegangan pada ujung kayu di bagian kelakang unta. Dia berjalan di depan unta, sedangkan aku di belakangnya, sementara suara tangisku masih tetap meninggi. Aku menyesali perpisahanku dengan keluargaku.

Setelah lewat sembilan hari perjalanan, tibalah kami di tengah kota Riyadh. Tukang unta itu benar benar menaruh aku di masjid dan menunjukkan aku letak sumur dan jamuan makan. Akan tetapi aku masih tetap tidak menyukai semuanya dan masih merasa sedih. Aku menangis dari waktu ke waktu. Dalam hati, aku berkata, “Bagaimana mungkin aku hidup di suatu negeri yang aku tidak mengetahui apa pun dan tidak mengenal siapa pun? Aku berangan-angan, andaikan aku bisa melihat, pastilah aku sudah berlari entah kemana … ke padang pasir barangkali. Akan tetapi, atas rahmat Allah, ada beberapa orang yang menaruh perhatian kepadaku di masjid itu. Mereka menaruh belas kasihan kepadaku, lalu mereka membawaku kepada Syekh Abdurrahman Al-Qasim rahmahullah dan mereka katakan, “Ini orang asing, hidup sebatang kara.”

Syekh menghampiri aku, lalu menanyai siapa namaku dan nama julukanku, dan dari negeri mana. Kemudian, beliau menyuruh aku duduk di dekatnya, sementara aku menyeka air mataku. Beliau berkata, “Anakku, bagaimana ceritamu?” Kemudian, aku pun menceritakan kisahku kepada beliau.

“Kamu akan baik baik saja, insya Allah. Semoga Allah memberimu manfaat dan membuat kamu bermanfaat. Kamu adalah anak kami dan kami adalah keluargamu. Kamu akan melihat nanti hal-hal yang menggembirakanmu di sisi kami. Kamu akan kami gabungkan dengan para pelajar yang sedang menuntut ilmu dan akan kami beri tempat tinggal dan makanan. Di sana ada saudara-saudara di jalan Allah yang akan selalu memperhatikan dirimu.”

Aku menjawab, “Semoga Allah memberi Tuan balasan yang terbaik, tetapi aku tidak menghendaki semua itu. Aku ingin Tuan berbaik hati kepadaku, kembalikan aku kepada keluargaku bersama salah satu kafilah yang menuju Al-Qashim.”

Syekh berkata, “Anakku, coba dulu kamu tinggal bersama kami, barangkali kamu akan merasa nyaman. Kalau tidak, kami akan mengirim kamu kembali kepada keluargamu, insya Allah.”
Selanjutnya, Syekh memanggil seseorang lalu berkata, “Gabungkan anak ini dengan Fulan dan Fulan, dan katakan kepada mereka, perlakukan dia dengan baik.”

Orang itu membimbing dan membawaku menemui dua orang teman yang baik hati. Keduanya menyambut kedatanganku dengan baik dan aku pun duduk di sisi mereka berdua, lalu aku ceritakan kepada mereka berdua keadaanku dan mengatakan bahwa aku tidak betah tinggal di situ karena harus berpisah dari keluargaku. Tak ada yang dilakukan kedua temanku itu selain mengatakan kepadaku perkataan yang menghiburku. Keduanya menjanjikan kepadaku yang baik-baik dan bahwa kami akan sama sama mencari ilmu, sehingga aku sedikit merasa tenteram dan senang kepada mereka. Keduanya selalu bersikap baik padaku. Semoga Allah memberi mereka dariku balasan yang terbaik. Akan tetapi, aku sendiri belum juga terlepas dari kesedihan dan keenggananku tinggal di sana. Aku masih tetap menangis dari waktu ke waktu atas perpisahanku dengan keluargaku.

Kedua temanku itu tinggal di sebuah kamar dekat masjid. Aku tinggal bersama mereka. Keseharianku selalu bersama mereka. Pagi-pagi benar, kami pergi shalat subuh, lalu duduk di masjid mengikuti pengajian Alquran sampai menjelang siang. Syekh menyuruh kami menghapal Alquran. Sesudah itu, kami kembali ke kamar, istirahat beberapa saat, makan ala kadarnya, kemudian kembali lagi ke pengajian hingga tiba waktu zuhur. Barulah setelah itu, kami istirahat, yakni tidur siang (qailulah), dan sesudah shalat Ashar kami kembali lagi mengikuti pengajian.

Demikian yang kami lakukan setiap hari hingga akhirnya mulailah aku merasa betah sedikit demi sedikit, makin membaik dari hari ke hari, bahkan akhirnya Allah melapangkan dadaku untuk menghapal Al Quran, terutama setelah Syekh–rahimahullah–memberi dorongan dan perhatian khusus kepadaku. Aku pun melihat diriku mengalami kemajuan dan menghapal hari demi hari. Sementara itu, Syekh selalu mempertajam minat para santrinya. Pernah suatu kali, beliau berkata,“Kenapa kalian tidak meniru si Hamud itu? Lihatlah bagaimana kesungguhan dan ketekunannya, padahal ia orang buta!”

Dengan kata-kata itu, aku semakin bersemangat, karena timbul persaingan antara aku dan teman temanku dalam kebaikan. Oleh karena itu, kurang dari satu setengah bulan, Allah ta’ala telah mengaruniai aku ketenteraman dan ketenangan hati, sehingga dapatlah aku menikmati hidup baru ini.
Syahdan, setelah tujuh bulan lamanya aku tinggal di sana, aku katakan dalam diriku, “Subhanallah, betapa banyak kebaikan yang terdapat dalam hal-hal yang tidak disukai hawa nafsu, sementara diri kita melalaikannya! Kenapa aku harus sedih dan menangisi kehidupan yang serba kekurangan di tengah keluargaku, yang ada hanya kebodohan, kemiskinan, kepayahan ketidakpedulian, dan penghinaan, sedangkan aku merasa menjadi beban mereka?”

Demikianlah kehidupan yang aku jalani di Riyadh setiap harinya, sehingga kurang dari sepuluh bulan aku sudah dapat menghafal Alquran sepenuhnya, alhamdulillah. Kemudian, aku ajukan hapalanku itu kehadapan Syekh sebanyak dua kali. Selanjutnya, Syekh mengajak aku pergi menemui para guru besar, yaitu Syekh Muhammad bin Ibrahim dan Syekh Abdul Latif bin Ibrahim. Aku diperkenalkan kepada mereka. Kemudian, guruku itu berkata, “Kamu akan ikut bergabung dalam halaqah-halaqah ilmu. Adapun murajaah Alquran, dilakukan sehabis shalat subuh, kamu akan dipandu oleh Fulan. Sesudah magrib, kamu akan dipandu oleh Fulan.”

Sejak saat itu, mulailah aku menghadiri halaqah-halaqah dari para guru besar itu, yang bisa menimba ilmu dengan kesungguhan hati. Materi pelajaran yang diberikan meliputi Akidah, Tafsir, Fikih, Ushul Fikih, Hadits, Ulumul Hadits, dan Fara’idh. Seluruh materi diberikan secara teratur, masing-masing untuk materi tertentu.
Sementara itu, aku sendiri, hari demi hari semakin merasa betah, semakin senang, dan tenteram hidup di lingkungan itu. Aku benar benar merasa bahaia mendapat kesempatan mencari ilmu. Sementara itu, agaknya orang tuaku di kampung selalu bertanya kepada orang-orang yang bepergian ke Riyadh, dan tanpa sepengetahuanku beliau mendapat berita-berita tentang perkembanganku.

Demikianlah, alhamdulillah, aku berkesempatan untuk terus mencari ilmu dan menikmati taman-taman ilmu. Setelah tiga tahun, aku meminta izin kepada guru-guruku untuk menjenguk keluargaku di kampung. Kemudian, mereka menyuruh orang untuk mengurus perjalananku bersama seorang tukang unta. Dengan memuji Allah, aku pun berangkat hingga sampailah aku kepada keluargaku. Tentu saja, mereka sangat gembira dan kegirangan menyambut kedatanganku, terutama Ibuku–rahimahallah–. Mereka menanyakan kepadaku tentang keadaanku dan aku katakan, “Aku kira, tidak ada seorang pun di muka bumi ini yang lebih bahagia selain aku ….”

Ya, kini mereka melihatku dengan senang dan santun. Demikian pula, aku melihat mereka menghargai dan menghormati aku, bahkan menyuruhku mengimami shalat mereka. Aku menceritakan kepada mereka pengalaman-pengalaman yang telah aku alami selama ini. Mereka senang mendengarnya dan memuji kepada Allah.

Setelah beberapa hari berada di lingkungan keluargaku, aku pun meminta izin untuk pergi meninggalkan mereka kembali. Mereka bersikeras memintaku untuk tetap tinggal, tapi aku segera mencium kepada ayah-bundaku. Aku meminta pengertian dan izin kepada keduanya, dan alhamdulillah mereka mengizinkan. Akhirnya aku kembali ke Riyadh meneruskan pelajaranku. Aku makin bersemangat mencari ilmu.

Adapun dari teman-temannya yang seangkatan, ada di antaranya yang menceritakan, “Dia sangat rajin dan bersemangat dalam mencari ilmu, sehingga dikagumi guru-gurunya dan teman-teman seangkatannya. Sangat banyak ilmu yang dia peroleh. Adapun hal yang sangat ia sukai adalah apabila ada seseorang yang duduk bersamanya dengan membacakan kepadanya sebuah kitab yang belum pernah ia dengar, atau ada orang yang berdiskusi dengannya mengenai berbagai masalah ilmu. Dia memiliki daya hapal yang sangat mengagumkan dan daya tangkap yang luar biasa.

Tatkala umunya mencapai 18 tahun, dia diperintahkan oleh guru didiknya dihadapan santri santri kecil dan agar menyuruh mereka menghapalkan beberapa matan kitab.

Ketika Fakultas Syariah Riyadh dibuka, beberapa orang gurunya menyarankan dia mengikuti kuliah. Dia mengikutinya, dan dengan demikian dia, termasuk angakatan pertama yang dihasilkan oleh fakultas tersebut pada tahun 1377 H. Kemudian, dia ditunjuk menjadi tenaga pengajar di Fakultas Syariah di kota itu.
Pada akhir hayatnya, dia pindah mengajar di fakultas yang sama di Al-Qashim, dan lewat tangannya muncullah sekian banyak mahasiswa yang kelak menjadi hakim, orator, guru, direktur, dan sebagainya.
Pada tiap musim haji, dia tergabung dalam rombongan pada mufti dan da’i, di samping kesibukannya sebagai pebisnis tanah dan rumah, sehingga dia bisa memberi nafkah kepada keluarganya dan saudara saudaranya, dan dapat pula membantu kerabat-kerabatnya yang lain.

Adapun saudara saudaranya yang dulu sering mengejeknya semasa kecil, kini mereka mendapatkan kebaikan yang melimpah darinya, karena sebagian mereka, ada yang kebetulan tidak pandai mencari uang.
Betapa banyak karunia dan nikmat yang terkandung pada hal-hal yang tidak disukai dari diri kita. Akan tetapi, firman Allah yang Maha Agung tentu lebih tepat,

“Boleh jadi, kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah yang paling mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah:216)

Disalin dari buku berjudul “Obat Penawar Hati yang Sedih“, karya Sulaiman bin Muhammad bin Abdullah Al-’Utsaimin. Penerbit: Darus Sunnah.
Dan di Publikasikan Oleh :artikel muslimah.or.id

>>Read_More

Kisah Ulama Dalam Menuntut Ilmu









Bismillahirrohmaanirrohiim.....

Disebutlah seorang sahabat yang agung bernama Rabi' bin ziyad Al haritsi,seorang gubernur di khurasan,pembuka pintu sajistan dan panglima yang handal...
Beliau tengah memimpin pasukan perang nya di jalan ALLAH,didampingi seorang budak nya yang pemberani bernama farukh..

Setelah ALLAH memberikan anugerah kemenangan atas sajistan dan beberapa daerah lain nya,Rabi' bermaksud melengkapi kemenangan nya yang gemilang dengan melintasi sungai seihun untuk mengibarkan panji panji tauhid di bukit bukit yang disebut 'negri di balik sungai' itu.

Rabi' Bin Ziyad pun mempersiapkan pasukan untuk menyongsong perang yang telah disepakati itu.mengatur strategi dan memberitahukan waktu serta posisi musuh.takala perang benar benar pecah Rabi'bersama pasukan nya yang militan menampilkan kebolehan nya yang selalu disebut sebut dalam sejarah dengan seruan tasbih dan pekikan takbir.budak nya,farukh juga menunjukan kegagahan nya dan ketangguhan nya di medan perang hingga bertambahlah kekaguman dan penghargaan rabi' terhadap nya..

Perang akhirnya usai dengan kemenangan di pihak muslimin,mereka telah menggohakan kaki kaki musuh,mencerai berai kan barisan nya.setelah itu mereka menyebrangi sungai yang selama ini menjadi penghalang bagi penyebaran islam di turki dan negri cina yang jauh.setelah berhasil menyeberangi sungai dan menginjakan kaki di tepian nya,panglima beserta pasukan langsung berwudhu,semua menghadap ke kiblat,menunaikan sholat dua rakaat sebagai ungkapan rasa syukur kepada ALLAH sang pemberi kemenangan..

Kemudian panglima besar memberikan hadiah kepada farukh atas andil nya yang besar dalam kemenangan dalam peperangan,berupa kemerdekaan,farukh juga mendapatkan bagian dari ghanimah yang banyak,ditambah lagi pemberian pribadi dari panglima Rabi'

Tak lama setelah hari hari bahagia ini,Rabi' bin ziyad Al Haritsi di jemput oleh maut,tepat nya dua tahun setelah cita cita nya yang agung terwujud,dia kembali ke sisi ALLAH dengan penuh kerelaan.

Adapun farukh seorang pemuda yang perkasa dia kembali ke madinah dengan membawa berbagai pemberian dari tuan nya,dia pulang menyandang tombak sekaligus membawa kemerdekaan nya yang berharga,disamping kenangan indah tentang kejantanan nya dalam bergumul dengan debu debu jihad.

Farukh pun kembali ke kota Rosulullah salallahu'alaihi wasallam dalam usia yang masih muda,lincah,perwira dan tangkas dalam berperang.ketika itu usia nya sekitar 30 tahun.usia yang masih penuh pencarian,penuh keceriaan,usia muda yang tangkas,kini dia bersiap untuk membina rumah tangga,menyunting seorang gadis agar kehidupan nya lebih tenang,dibeli nya sebuah rumah yang sederhana dikota madinah,dipilihnya seorang gadis yang sudah matang pola fikir nya,sempurna agama nya dan seimbang tubuh dan usianya...
Farukh sangat bersyukur atas karunia ALLAH jalla wa alaa yang telah memberinya rumah dan istri yang sholihah.sekarang dia benar benar bisa merasakan kenikmatan hidup di sisi istri yang mampu mengatur semua tatanan kehidupan,persis seperti apa yang di harapkan dan di cita cita kan.namun ternyata rumah yang nyaman dan segala kebutuhan hidup dan istri yang shalihah yang akhlak dan kecantikan nya penuh karunia ALLAH jalla wa alaa tak mampu meredam gejolak kerinduan pada jihad fii sabilillah.
Pahlawan mukmin ini ingin kembali memasuki medan pertempuran dengan membawa kerinduan akan gemerincing suara pedang dan senjata kegemaran nya di medan jihad.setiap kali mendengar kemajuan yang di capai pasukan muslimin makin kerasa kerinduan nya untuk berjihad,makin dahsyat hasrat nya untuk mati dalam medan jihad fii sabilillah.

Pada suatu hari jum'at,khatib masjid nabawi memberikan kabar gembira tentang kemenangan kaum muslimin di berbagai kemenangan di medan jihad,khotib memberikan motivasi orang orang untuk terus berjihad di medan perang,menjelaskan kepada mereka atas keutamaan mati syahid demi meninggikan agama NYA,maka pulanglah farukh kerumah nya,sedang di hati nya telah bulat untuk berjihad,berjuang di bawah panji panji kaum muslimin di muka bumi.kemudian beliau ceritakan keinginan nya kepada istri nya,sehingga istri nya bertanya “Wahai Abu Abdirahman,kepada siapa engkau hendak menitipkan aku beserta janin dalam kandungan ku ini? Sedangkan engkau adalah orang asing yang tak punya sanak keluarga di kota ini?”

Farukh berkata “Aku titipkan engkau kepada ALLAH dan rosul NYA,kemudian aku tinggalkan untukmu uang 30.000 dinar hasil yang ku kumpulkan dari pembagian ghanimah peperangan,pakailah secukupnya untuk keperluan mu dan keperluan bayi kita dengan sebaik baik nya,sampai aku kembali kembali dengan selamat dan membawa ghanimah atau ALLAH memberi aku rizki sebagai syuhada”
kemudian beliau pamit dan pergi meninggalkan istri nya menuju tujuan nya..

Beberapa bulan setelah keberangkatan farukh,Istrinya melahirkan melahirkan seorang bayi laki laki yang cakap dan tampan,sang ibu menyambutnya dengan penuh bahagia,sampai melupakan kesedihan karena telah berpisah dengan suaminya,bayi laki laki itu di beri nama “RABI'AH”

Anak tersebut telah menunjukan kecakapan nya dari usia nya yang masih anak anak,nampak pula kecerdasan pada perkataan dan tingkah lakunya,oleh ibunya,rabi'ah diserahkan kepada guru guru agar mendapatkan pendidikan sebaik baik nya,disamping itu diundang nya pula untuk nya pengajar dalam tata krama agar mendidik adab kepada nya.

Tanpa memerlukan waktu lama,rabia'ah berkembang dengan pesat,pada mula nya mahir dalam menulis dan membaca,selanjutnya hafal kitabullah dan mampu membaca dengan lantunan yang menarik,seperti para sahabat terdahulu,sesudah itu mampu mendalami hadits rosulullah salallahu'alaihi wasallam dari yang paling mudah,mempelajari bahasa arab yang baik dan benar,juga mempelajari perkara perkara agama yang semestinya segera diketehaui.

Terhadap guru guru putra nya,ibunda rabi'ah memberikan imbalan yang cukup dan hadia hadiah yang berharga.setiap kali rabi'ah memperlihatkan kemajuan,ditambahkan nya pemberian,bersamaan dengan itu sang ibu lupa senantiasa menanti kedatangan ayah dari putra nya yang pergi sudah begitu lama.
Karena itulah dia berusaha keras mendidik putra nya agar kelak bisa menjadi penyejuk pandangan nya dan juga suaminya bila datang.

Namun ternyata farukh begitu lama tak kunjung datang,kemudian muncul beraneka ragam desas desus dan komentar orang tentang nya.ada yang mengatakan bahwa farukh ditawan musuh,adapula yang mengatakan bahwa ia masih meneruskan jihad nya,yang lain lagi mengatakan bahwa beliau telah mendapatkan cita cita nya gugur dalam keadaan syahid.Ummu rabi'ah mengira bahwa kemungkinan yang terakhir lah yang paling mungkin,mengingat berita farukh terputus sama sekali.beliau menjadi sedih,kemudian beliau mengembalikan semua persoalan nya kepada ALLAH jalla wa alaa yang maha pengasih dan penyayang.

Ketika rabi'ah menjadi pria dewasa dan hampir baligh orang orang menasehati ibu nya”Sekarang rabi'ah sudah dewasa,sebaiknya dia tidak usah lagi belajar membaca dan menulis” Yang lain menimpali “Dia sudah mampu menghafal Al-qur'an dan meriwayatkan hadits,lebih baik engkau memberikan nya pekarjaan agar ia mampu mengembangkan,mencari nafkah untuk diri nya dan diri mu' Ibunya menjawab”Aku memohon kepada ALLAH agar memberi nya yang terbaik bagi dunia dan akhirat nya,sesungguh nya rabi'ah lebih memilih untuk terus menuntut ilmu,dia bertekad senantiasa belajar dan mengajar selama hidupnya.”

Rabi'ah melanjutkan perjalan hidup nya yang sudah di gariskan,tanpa membuang waktu dan penuh dengan kesungguhan,beliau rajin mendatangi halaqah halaqah ilmu yang memenuhi masjid nabawi dengan membawa rasa haus akan sumber sumber pengetahuan yang baik dan benar.beliau bersahabat baik dengan sisa sisa sahabat utama,diantara nya ANAS BIN MALIK pembantu rosulullah salallahu'alaihi wasallam,mengenyam ilmu dari para tabi'in terkemuka seperti SA'ID BIN MUSAYYAB,MAKHUL ASY SYAMI dan SALAMAH BIN DINAR..

Beliau terus belajar hingga larut malam,sampai lelah kawan kawan nya menasehati agar dia menyayangi diri nya dan menjaga kesehatan nya,namun katanya “Aku mendengar orang orang tua dan guru guru ku berkata “Sesungguh nya ilmu tidak akan memberikan sebagian dari diri nya kepadamu,kecuali jika kamu memberikan seluruh jiwa mu untuk ilmu”

Tak heran jika sebentar kemudian nama nya sudah tersohor,menjadi tinggi pamor nya,semakin banyak kawan nya,dihargai oleh murid murid nya dan diunggulkan oleh kaum nya,kehidupan ulama madinah ini begitu cemerlang,dibagilah hari hari nya,sebagian untuk keluarga nya dirumah sebagian lagi di masjid nabawi menghadiri kajian ilmu dan halaqah halaqah,sampai suatu hari terjadilah suatu peristiwa yang sama sekali tak terduga dalam hidup nya.

Malam terang bulan di musim panas,seorang prajurit berusia sekitar 60 an tahun memasuki kota madinah,dia menyusuri jalan jalan kampung menuju rumah nya dengan naik kuda,dia tidak tahu apakah rumah nya masih seperti dahulu atau sudah berubah,karena telah ia tinggalkan selama 30 tahun yang lalu atau sekitar itu.

Dalam hati dia bertanya tanya apa yang sedang dilakukan oleh istri nya saat ini?istrinya yang muda dan yang ditinggalkan diri nya dahulu,bagaimana dengan kandungan nya,lahir bayi laki laki atau perempuan?apakah anak itu sudah mati atau masih hidup?jika hidup,apa yang sedang dilakukan nya saat ini?dia juga teringat akan uang perolehan jihad yang ditinggalkan nya pada istri nya,kemudian dia pergi sebagai mujahid fii sabilillah,pergi bersama pasukan muslimin untuk membuka daerah bukhara,samarkand dan sekitarnya.

Dijalan jalan perkampungan madinah masih banyak orang orang hilir mudik sebab mereka baru menyelesaikan sholat isya,tapi orang orang berlalu begitu saja,tidak ada yang mengenalinya,tidak ada yang menghiraukan nya,tidak ada yang melihat pada kuda nya atau pedang yang menggantung di pundak nya,sebab mereka tinggal di kota kota islam yang sudah biasa melihat mujahidin yang sedang berangkat untuk berperang fii sabilillah atau sekembalinya.
Pemandangan itu menimbulkan rasa sedih juga kecewa juga was was di hati prajurit tua ini.saat ia tenggelam dalam fikiran nya di atas jalan jalan dan bangunan bangunan yang telah banyak berubah,tiba tiba ia telah dapati bahwa diri nya sudah berada tepa di depan rumah nya.ia dapati pintu rumah nya setengah terbuka,kegembiraan nya yang sangat memenyebabkan ia lupa meminta izin pada yang berada di dalam rumah,ia pun masuk melalui pintu tersebut.

Si empunya rumah yang mendengar pintu rumah nya terbuka menerok dari lantai atas rumah nya,maka dalam cahaya bulan ia melihat ada seorang yang menyandang pedang dan membawa tombak,malam malam memasuki rumah nya,tak ayal lagi darah nya langsung naik ke ubun ubun,dengan marah dia turun sambil berteriak “Kurang ajar!!! engkau berani memasuki rumah dan menodai kehormatanku malam malam,hai musuh ALLAH!!!

diterkam nya orang itu seperti singa yang menerkam ganas takala sarang nya di serang,tak ada lagi kesempatan untuk bicara,kedua nya langsung bergulat dan terkam menerkam diselingi teriakan tuduh menuduh yang makin lama makin keras,para tetangga dan orang orang di jalan mendatangi mengitari dua orang yang sedang berkelahi tersebut,mereka hendak mengeroyok orang asing itu untuk membela tetangga nya...

Akhirnya si empunya menggenggam erat eratleher lawan nya sambil berkata “Hai musuh ALLAH,demi ALLAh aku tak akan melepaskan mu kecuali di muka hakim” Orang asing itu pun menjawab”Demi ALLAH aku bukan musuh ALLAH dan bukan penjahat,tapi ini rumahku,milikku,kudapati pintunya terbuka lalu aku masuk” dia menoleh kepada orang orang sembari berkata “Wahai saudara saudara,dengarkanlah keterangan ku,rumah ini milikku,ku beli dengan uangku,wahai kaum...aku adalah farukh,tidak ada lagi kah seorang tetangga yang masih mengenal farukh yang 30 tahun lalu pergi berjihad fii sabilillah????

Ketika itu,si ibu empunya rumah yang sedang tertidur terbangun oleh keributan itu,lalu menengok dari jendela atas dan melihat suami nya sedang bergelut dengan darah daging nya,lidah nya nyaris kelu,namun dengan sekuat tenaga dia berseru....”LEPASKAN!....LEPASKAN dia Rabi'ah..lepaskan dia putraku! Dia adalah ayahmu...dia ayahmu...! saudara saudara..tinggalkanlah kami dan terima kasih banyak,tenanglah abu Abdirrahman,dia putra mu...dia putramu...jantung hatimu....!

Setelah mendengar jeritan itu farukh memeluk dan menciumi putranya,begitu juga rabi'ah,beliau mencium tangan ayah nya,orang orang pun bubar meninggalkan keduanya,Ummu rabi'ah pun turun menyambut suaminya dan memberi salam..benar benar dia tak mengira bisa bertemu lagi dengan suaminya setelah hampir 1/3 abad terputus kabar darinya...

Kini farukh duduk duduk bersama istri nya,dia mengisahkan tentang hal ikwal dan sebab musabab terputusnya berita dari nya,namun istrinya,tak bisa menikamati ceritanya,karena tiba tiba muncul sesuatu yang menggelayuti fikiran nya,kebahagiaan nya berkumpul lagi bersama suami nya dibayangi ketakutan tentang masalah uang titipan suami nya yang telah habis...dia berkata dalam hati nya “Bagaimana aku menjawab jika ia bertanya tentang uang yang diamatkan kepadaku agar aku memanfaatkan nya dengan baik,apa yg akan terjadi seandainya dia tahu bahwa hartanya telah habis tak tersisa,bisakah dia menerima alasan ku bahwa uang itu telah habis untuk biaya pendidikan putra nya,percayakah dia bahwa pendidikan putra nya menghabiskan 30.000 dinar?”bisakah suaminya percaya bahwa tangan putra nya lebih suci daripada awan dan dia tidak menyisakan satu dirham pun?seluruh penduduk madinah tahu bahwa dia sangat pemurah dalam memberikan pembayaran kepada guru guru putra nya.

Sa'at ibunda rabi'ah tenggelam dalam fikiran nya,suaminya menoleh dan berkata”Wahai Ummu Rabi'ah..Aku membawa uang 4000 dinar,ambilah uang yang kau simpan,kita jadikan satu lalu kita belikan rumah atau kebun,kita bisa hidup dari hasil sewa nya selama sisa usia kita”
Ummu rabi'ah tidak menjawab dan pura pura sibuk,tapi suaminya mengulangi perkataan nya”Lekaslah..mana uang itu?bawa kemari agar bisa disatukan dengan hasil yang kubawa”
Akhirnya ummu rabi'ah menjawab,”uang itu kutaruh ditempat yang semestinya,dan akan ku ambil beberapa hari lagi..Insya Allah....”

Untunglah adzan berkumandang sehingga pembicaraan terputus,farukh bergegas mengambil air wudhu,lalu menuju pintu dan bertanya,”Mana Rabi'ah?” dijawab “dia sudah berangkat duluan kemasjid,kelihatan nya engkau akan terlambat shalat berjamaah”
benarlah,sesampainya di masjid,farukh mendapati imam sudah menyelesaikan shalatnya,dia pun segera shalat,kemudian menuju ke makam Rosulullah salallahu'alaihi wasallam dan mengucapkan shalawat atas nya,setelah itu mengambil tempat di raudhah muthahharah (tempat diantara makam nabi dan mimbarnya).Hatinya sungguh rindu untuk shalat di situ,berdzikir dan berdoa.

Ketika hendak pulang,dilihatnya ruangan masjid sudah padat dengan orang yang belajar,pemandangan yang belum pernah ia lihat sebelumnya,mereka duduk mengitari syaikh majlis ilmu tersebut sampai tak ada lagi tempat kosong untuk berjalan,dia mengamati...ternyata orang orang yang hadir itu adalah orang orang tua yang sudah berusia,juga para pemuda,orang orang yang tampak berwibawa juga terhormat,mereka semua duduk menghamparkan lutut nya,masing masing memegang buku dan pensil untuk mencatat semua uraian syaikh itu,kemudian di hafalkan,semua menghadapkan pandangan nya menghadap syaikh itu,seolah olah kepala mereka seperti burung yang bertengar,para mubaligh mengulangi kata demi kata dari syaikh itu agar tidak ada seorang pun yang keliru mendengar nya,mengingat jauh jarak nya...

farukh berusaha melihat wajah syaikh itu yang luar biasa,tapi tidak berhasil karena orang orang terlalu padat dan jarak nya juga yang cukup jauh,dia kagum pada segala perkataan syaikh itu.juga pada ingatan nya yang tajam dan ilmunya yang padat,dia terheran heran pada ketekunan orang orang disekeliling syaik itu...

Akhirnya.setelah beberapa waktu majlis itu usai,si syaikh berdiri dari tempatnya,orang orang langsung berkerumun dan mengiringkan nya sampai keluar masjid,saat itu farukh bertanya kepada seseorang yang duduk disebelahnya “Jelaskan...siapa syaikh itu sebenarnya?”
Orang itu pun bertanya dengan nada heran “Apakah anda bukan orang madinah?”
Farukh menjawab “Saya orang sini”

Orang itu balas menjawab “Adakah orang disini yang tak mengenal syaikh yang memberikan ceramah tadi?”
Farukh berkata “Maaf..saya benar benar tidak tahu,sebab saya meninggalkan kota ini sejak 30 tahun lalu,baru kemarin saya kembali” tidak apa,duduklah sebentar,akan saya jelaskan,syaikh yang anda dengarkan ceramahnya tadi adalah seorang tokoh ulama tabi'in,dia pujaan kaum muslimin,dia seorang Fuqaha dan imam yang luar biasa,walaupun usia nya masih muda”...Masya Allah.....,la quwwata illa billah...sela farukh”

Orang itu melanjutkan “Majlis nya dihadiri oleh Malik Bin Anas,Abu Hanifah An-Nu'man,Yahya Bin Said Al-Anshari,Sufyan Ats-Tsauri,Abdurrahman Bin Amru Al-Auza'i,Laits Bin Sa'id dan lain lain”Farukh hendak bertanya,”tetapi Anda...”orang tersebut tidak memberikan nya kesempatan untuk berbicara,dia melanjutkan kata katanya “Disamping itu dia sangat dermawan,tidak ada di madinah ini orang yang melebihi dalam hal kedermawan nya terhadap kawan dan keluarga,dia hanya mengharapkan apa yang ada disisi Allah”

Farukh berkata “tetapi anda belum menyebutkan nama nya”
Orang itu berkata “Namanya Adalah Rabi'ah Ar Ra'iy”
“Rabi'ah Ar Ra'iy????”tanya farukh keheranan,orang itu menjawab “Benar,tetapi para ulama dan pemuka madinah biasa menyebutnya “Rabi'ah Ar Ra'iy (si pembimbing)sebab setiap kali menjumpai kesulitan atau merasa tidak jelas tentang suatu nash dalam kitabullah dan hadits,mereka selalu bertanya kepada nya,kemudian beliau berijtihad dalam masalah itu,memberikan kiasan apabila tidak ada nash sama sekali,serta memberikan hukum kepada mereka yang memerlukannya dengan cara cara yang bijak dan menentramkan hati”

Kata farukh “Anda belum menunjukan Asal usulnya” Dia adalah Rabi'ah putra farukh yang memiliki kunyah (julukan) Abu Abdirrahman,dia dilahirkan tak lama ketika ayah nya meninggalkan kota madinah sebagai mujahid fi sabilillah,lalu ibu nya memelihara dan mendidik nya,tapi sebelum shalat tadi saya mendengar dari orang orang bahwa ayah nya telah datang semalam”
Tanpa terasa meneteslah air mata farukh,tanpa lawan bicara nya tahu apa penyebab nya,dia kemudian mempercepat langkahnya untuk pulang.

Karena melihat suaminya datang dengan berlinang air mata,ibunda rabi'ah betanya “Ada Apa wahai Abu Abdirrahman?”Tidak apa apa,semuanya baik baik saja,aku melihat putraku berada memiliki kedudukan ilmu dan kehormatan yang tinggi,yang tidak kulihat pada orang lain...”

Ummu rabi'ah melihat ini sebagai kesempatan yang bagus untuk menjelaskan tentang harta amanat suaminya yang kemarin di tanyakan nya,maka katanya “Manakah kira nya yang engkau lebih sukai,30.000 dinar atau ilmu dan kehormatan putramu?” farukh pun menjawab “Demi Allah ini yang lebih aku sukai daripada dunia dan seisi nya”
Lalu ibu rabi'ah pun berkata “Ketahuilah wahai suamiku..aku telah menghabiskan semua harta amanat mu itu untuk biaya pendidikan putra kita,puaskah engkau atas apa yang telah aku lakukan?”
Farukh berkata Benar...Aku berterima kasih kepada mu atas nama ku dan atas nama kaum muslimin...”


“Subhanallah...kisah yang sangat indah,umat ini akan bersyukur dan fajar kejayaan itu akan segera menyembul di ufuk kebangkitan jika para orang tua muslimin dizaman ini memiliki komitmen teguh dalam mendidik anak anak nya..


Sumber: Di ketik ulang dari buku:

“Bila Pernikahan Tak seindah Impian” (Kiat mengatasi stres dalam kehidupan rumah tangga) halaman:80-94

Di tulis oleh “Muhammad Al Bani (penulis buku best seller “Berobat dengan sedekah”)






                                                                    Catatan Kaki
_________________________________________________________________
Bersumber dari “Sutra Romantika,Abu Umar Basyir,Rumah dzikir,solo 2006 hal 104,Ibunda para ulama,sufyan bin fuad baswedan,wafa press,klaten 2007 hal 75,perjalanan ulama menuntut ilmu,Abu anas Majid Al bankani,darul falah,jakarta 2006,hal 132.Menurut imam dzahabi,sanad kisah di tersebut munqathi '(terputus),namun tidak menutup kemungkinan jika sebagian kisah tersebut memang pernah terjadi “Wallahu'alam bisshowab”

---------------------------------------------------------------------------------------------


>>Read_More