Malas, merupakan salah satu penyebab
negara Indonesia ini tertinggal dengan negara lain khususnya hubungannya dengan
Sumber Daya Manusia (SDM). Sebagai contoh janganlah jauh-jauh dahulu ke Eropa,
tapi yang dekat terlebih dahulu seperti Malaysia ataupun Singapura yang secara
geografis luas negaranya maupun kekayaan alamnya jauh berbeda dengan Indonesia
namun jauh berbeda pula dalam hal "manusianya", padahal dulu pelajar
maupun guru-guru dari Malaysia datang ke Indonesia ini untuk belajar
memperdalam ilmunya.
Para jagoan wanita di zaman Rasulullah SAW
Muslimah & Mujahidah Jika kita membaca sejarah para sahabat perempuan di
zaman Rasulullah Shallallahu alaihi Wassalam, kita akan banyak menemukan
kekaguman-kekaguman yang luar biasa. Mereka bukan hanya berilmu, berakhlaq,
pandai membaca Al Qur’an, tapi juga jago pedang, berkuda dan memanah, dan tidak
sedikit yang juga menjadi “dokter” yang pintar mengobati para sahabat yang
terluka di medan perang. Bahkan, ada di antara mereka yang terpotong tangannya
karena melindungi Rasulullah! Subhanallah... Simak kisah mereka..
Rasulullah Shallallahu alaihi Wassalam
yang mulia berdiri di puncak bukit Uhud dan memandang musuh yang merangsek maju
mengarah pada dirinya. Beliau memandang ke sebelah kanan dan tampak olehnya
seorang perempuan mengayun-ayunkan pedangnya dengan gagah perkasa melindungi
dirinya. Beliau memandang ke kiri dan sekali lagi beliau melihat wanita
tersebut melakukan hal yang sama – menghadang bahaya demi melindungi sang
pemimpin orang-orang beriman.
Kata Rasulullah Shallallahu alaihi
Wassalam kemudian, “Tidaklah aku melihat ke kanan dan ke kiri pada pertempuran
Uhud kecuali aku melihat Nusaibah binti Ka’ab berperang membelaku.”
Memang Nusaibah binti Ka’ab Ansyariyah
demikian cinta dan setianya kepada Rasulullah sehingga begitu melihat
junjungannya itu terancam bahaya, dia maju mengibas-ngibaskan pedangnya dengan
perkasa sehingga dikenal dengan sebutan Ummu Umarah, adalah pahlawan wanita
Islam yang mempertaruhkan jiwa dan raga demi Islam termasuk ikut dalam perang
Yamamah di bawah pimpinan Panglima Khalid bin Walid sampai terpotong tangannya.
Ummu Umarah juga bersama Rasulullah Shallallahu alaihi Wassalam dalam
menunaikan Baitur Ridhwan, yaitu suatu janji setia untuk sanggup mati syahid di
jalan Allah.
Nusaibah adalah satu dari dua perempuan
yang bergabung dengan 70 orang lelaki Ansar yang berbaiat kepada Rasulullah
Shallallahu alaihi Wassalam. Dalam baiat Aqabah yang kedua itu ia ditemani
suaminya Zaid bin Ahsim dan dua orang puteranya: Hubaib dan Abdullah. Wanita
yang seorang lagi adalah saudara Nusaibah sendiri. Pada saat baiat itu
Rasulullah menasihati mereka, “Jangan mengalirkan darah denga sia-sia.”
Dalam perang Uhud, Nusaibah membawa
tempat air dan mengikuti suami serta kedua orang anaknya ke medan perang. Pada
saat itu Nusaibah menyaksikan betapa pasukan Muslimin mulai kocar-kacir dan
musuh merangsek maju sementara Rasulullah Shallallahu alaihi Wassalam berdiri
tanpa perisai. Seorang Muslim berlari mundur sambil membawa perisainya, maka
Rasulullah Shallallahu alaihi Wassalam berseru kepadanya, “berikan perisaimu
kepada yang berperang.” Lelaki itu melemparkan perisainya yang lalu dipungut
oleh Nusaibah untuk melindungi Nabi.
Ummu Umarah sendiri menuturkan
pengalamannya pada Perang Uhud, sebagaimana berikut: “…saya pergi ke Uhud dan
melihat apa yang dilakukan orang. Pada waktu itu saya membawa tempat air.
Kemudian saya sampai kepada Rasulullah Shallallahu alaihi Wassalam yang berada
di tengah-tengah para sahabat. Ketika kaum muslimin mengalami kekalahan, saya
melindungi Rasulullah Shallallahu alaihi Wassalam, kemudian ikut serta di dalam
medan pertempuran. Saya berusaha melindungi Rasulullah Shallallahu alaihi
Wassalam dengan pedang, saya juga menggunakan panah sehingga akhirnya saya
terluka.”
Ketika ditanya tentang 12 luka
ditubuhnya, Nusaibah menjawab, “Ibnu Qumaiah datang ingin menyerang Rasulullah
ketika para sahabat sedang meninggalkan baginda. Lalu (Ibnu Qumaiah) berkata,
‘mana Muhammad? Aku tidak akan selamat selagi dia masih hidup.’ Lalu Mushab bin
Umair dengan beberapa orang sahabat termasuk saya menghadapinya. Kemudian Ibny
Qumaiah memukulku.”
Rasulullah juga melihat luka di belakang
telinga Nusaibah, lalu berseru kepada anaknya, “Ibumu, ibumu…balutlah lukanya!
Ya Allah, jadikanlah mereka sahabatku di surge!” Mendengar itu, Nusaibah
berkata kepada anaknya, “Aku tidak perduli lagi apa yang menimpaku di dunia
ini.”
Subhanallah, sungguh setianya beliau
kepada baginda Rasulullah Shallallahu alaihi Wassalam.
Khaulah binti Azur (Ksatria Berkuda Hitam)
Siapa Ksatria Berkuda Hitam ini? Itulah
Khaulah binti Azur. Dia seorang muslimah yang kuat jiwa dan raga. Sosok
tubuhnya tinggi langsing dan tegap. Sejak kecil Khaulah suka dan pandai bermain
pedang dan tombak, dan terus berlatih sampai tiba waktunya menggunakan
keterampilannya itu untuk membela Islam bersama para mujahidah lainnya.
Diriwayatkan betapa dalam salah satu
peperangan melawan pasukan kafir Romawi di bawah kepemimpinan Panglima Khalid
bin Walid, tiba-tiba saja muncul seorang penunggang kuda berbalut pakaian serba
hitam yang dengan tangkas memacu kudanya ke tengah-tengah medan pertempuran.
Seperti singa lapar yang siap menerkam, sosok berkuda itu mengibas-ngibaskan
pedangnya dan dalam waktu singkat menumbangkan tiga orang musuh.
Panglima Khalid bin Walid serta seluruh
pasukannya tercengang melihat ketangkasan sosok berbaju hitam itu. Mereka
bertanya-tanya siapakah pejuang tersebut yang tertutup rapat seluruh tubuhnya
dan hanya terlihat kedua matanya saja itu. Semangat jihad pasukan Muslimin pun
terbakar kembali begitu mengetahui bahwa the Black Rider, di penunggang kuda
berbaju hitam itu adalah seorang wanita!
Keberanian Khaulah teruji ketika dia dan
beberapa mujahidah tertawan musuh dalam peperangan Sahura. Mereka dikurung dan
dikawal ketat selama beberapa hari. Walaupun agak mustahil untuk melepaskan
diri, namun Khaulah tidak mau menyerah dan terus menyemangati
sahabat-sahabatnya. Katanya, “Kalian yang berjuang di jalan Allah, apakah
kalian mau menjadi tukang pijit orang-orang Romawi? Mau menjadi budak
orang-orang kafir? Dimana harga diri kalian sebagai pejuang yang ingin
mendapatkan surga Allah? Dimana kehormatan kalian sebagai Muslimah? Lebih baik
kita mati daripada menjadi budak orang-orang Romawi!”
Demikianlah Khaulah terus membakar
semangat para Muslimah sampai mereka pun bulat tekad melawan tentara musuh yang
mengawal mereka. Rela mereka mati syahid jika gagal melarikan diri. “Janganlah
saudari sekali-kali gentar dan takut. Patahkan tombak mereka, hancurkan pedang
mereka, perbanyak takbir serta kuatkan hati. Insya Allah pertolongan Allah sudah
dekat.
Dikisahkan bahwa akhirnya, karena
keyakinan mereka, Khaulah dan kawan-kawannya berhasil melarikan diri dari
kurungan musuh! Subhanallah…
Nailah si Cantik yang Pemberani
Nailah binti al-Farafishah adalah istri
Khalifah Ustman bin Affan. Dia terkenal cantik dan pandai. Bahkan suaminya
sendiri memujinya begini: “Saya tidak menemui seorang wanita yang lebih
sempurna akalnya dari dirinya. Saya tidak segan apabila ia mengalahkan akalku.”
Subhanallah!
Mereka menikah di Madinah al-Munawwarah
dan sejak itu Ustman kagum pada tutur kata dan keahlian Nailah di bidang
sastra. Karena cintanya, Ustman paling senang memberikan hadiah untuk istrinya
itu. Mereka punya satu orang anak perempuan, Maryan binti Ustman.
Ketika terjadi fitnah yang memecah belah
umat Islam pada tahun 35 Hijriyah, Nailah ikut mengangkat pedang untuk membela
suaminya. Seorang musuh menerobos masuk dan menyerang dengan pedang pada saat
Ustman sedang memegang mushaf atau Al Qur’an. Tetesan darahnya jatuh pada ayat
137 surah Al Baqarah yang berbunyi, “Maka Allah akan memelihara engkau dari
mereka.”
Seseorang pemberontak lain masuk dengan
pedang terhunus. Nailah berhasil merebut pedang itu namun si musuh kembali
merampas senjata itu, dan menyebabkan jari-jari Nailah terputus Ustman syahid
karena sabetan pedang pemberontak. Air mata Nailah tumpah ruah saat memangku
jenazah sang suami. Ketika kemudian ada musuh yang dengan penuh kebencian
menampari wajah Ustman yang sudah wafat itu, Nailah lalu berdoa, “Semoga Allah
menjadikan tanganmu kering, membutakan matamu dan tidak ada ampunan atas
dosa-dosamu!”
Dikisahkan dalam sejarah bahwa si
penampar itu keluar dari rumah Ustman dalam keadaan tangannya menjadi kering
dan matanya buta!
Sesudah Ustman wafat, Nailah berkabung
selama 4 bulan 10 hari. Ia tak berdandan dan berhias dan tidak meninggalkan
rumah Ustman ke rumah ayahnya.
Nailah memandang kesetiaan terhadap
suaminya sepeninggalnya lebih berpengaruh dan lebih besar dari apa yang
dilihatnya terhadap ayahnya, saudara perempuannya, ibunya dan juga kerabatnya.
Ia selalu mendahulukan keutamaannya, mengingat kebaikannya di setiap tempat dan
kesempatan. Ketika Ustman terbunuh, ia mengatakan, “Sungguh kalian telah
membunuhnya padahal ia telah menghidupkan malam dengan Al Qur’an dalam
rangkaian rakaat.”
Subhanallah yah, ternyata umat muslim
juga memiliki jagoan wanita yang memang nyata adanya, semoga kita, para
muslimah dapat mengambil teladan dari mereka, aamiin.
Sumber: • Al-Ekhlaas Islamic Page
Pejuang Wanita Masa Rasulullah SAW
.jpg)
Jauh sebelum kelahiran dan kehadiran pejuang-pejuang wanita dalam sejarah bangsa Indonesia, telah muncul dan lahir sejumlah pejuang wanita tangguh yang membela Islam pada masa Rasulullah dulu. Sebut saja istri pertama Nabi Muhammad saw, Khadijah. Dia termasuk pejuang wanita yang paling dikenang dalam sejarah agama Islam. Tidak hanya berkorban harta benda, Khadijah termasuk wanita pertama yang masuk Islam dan membela agama Allah ini dengan segenap jiwa raganya. Tak heran jika ia dijuluki “Khadijah al-Kubra”, yang agung. Bahkan Rasulullah pun sangat kehilangan ketika istrinya itu meninggal dunia, hingga tahun wafatnya disebut dengan amul huzni alias tahun duka cita.
Selain Khadijah, muncul pula Aisyah ra,
yang juga termasuk istri Rasulullah. Putri sahabat Nabi, Abu Bakar as-Shiddiq
ini memiliki peran yang sangat penting sepanjang sejarah perjuangan dakwah
Islam. Aisyah termasuk perawi hadits terbanyak dan tempat belajarnya para
sahabat. Bahkan, ada ulama yang mengatakan, seandainya ilmu seluruh wanita
dikumpulkan dibanding ilmu Aisyah, maka ilmu Aisyah akan lebih banyak. Ia pun
dijuluki ummul mukminin atau ibunya kaum
beriman.
Demikian pula dengan kaum wanita atau
mujahidah-mujahidah yang lain pada masa Rasulullah. Mereka tidak ketinggalan
dalam berlomba meraih kebaikan dan jihad, meskipun sibuk sebagai ibu rumah
tangga. Mereka ikut belajar dan bertanya kepada Rasulullah saw. Bahkan para
wanita ini juga turut berjuang di medan perang. Sebut saja, Nasibah binti Kaab
atau yang dikenal dengan sebutan Ummu Imarah. Dia adalah mujahidah pembawa air
dalam Perang Uhud. Istilah kerennya, dapatlah dikatakan kalau Ummu Imarah ini
adalah pejuang di bagian logistik.
Bahkan di tengah berkecamuknya Perang
Uhud, Ummu Imarah tidak hanya bertugas membagi air, dia turut pula mengangkat
pedang dan busur panah guna menghalau kaum kafir yang ingin mendekati dan
membunuh Rasulullah. Bersama Mush’ab bin Umair, Ummu Imarah berhasil melindungi
Rasulullah dari sabetan pedang tentara Quraiys bernama Ibnu Qamiah, padahal
saat itu dia dalam kondisi luka parah. “Setiap kali aku melihat kanan-kiriku,
kudapati Ummu Imarah membentengiku pada Perang Uhud,” kenang Rasulullah saw.
Begitulah ketangguhan Ummu Imarah.
Asma binti Abu Bakar juga termasuk
“Kartini” pada masa Rasulullah. Adik dari Ummul Mukmini Aisyah ini termasuk
sahabat wanita yang terkemuka dan masuk Islam sejak dini. Yang paling dikenal
sejarah dalam perjuangan Asma adalah dalam peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad.
Dengan menahan berbagai penderitaan dan penuh kesabaran dia membawa bekal bagi
Rasulullah dan Abu Bakar as-Shiddiq, ayahnya. Dia dijuluki dzaatin nithaqain (wanita yang memiliki dua sabuk) karena memotong ikat
pinggangnya menjadi dua bagian; satu bagian untuk tempat rangsum makanan dan
satunya lagi untuk tempat minuman.
Ada pula Asma Binti Yazid al-Anshariah,
salah seorang orator wanita terkemuka yang terkenal berani dan selalu tampil ke
depan. Dia adalah seorang ahli hadits yang sempat mengikuti Perang Yarmuk.
Dalam perang tersebut ia bertugas di bagian logistik dan medis, menyuplai
minuman kepada para pejuang dan mengobati yang terluka. Suatu ketika, di saat
peperangan sedang berkecamuk, dia mengambil tiang kemahnya dan maju ke medan
pertempuran dan berhasil membunuh sembilan prajurit Romawi.

Kenalkan pula wanita yang satu ini.
Namanya, Lubabah Kubra (Lubabah binti Harits al-Hilali), istri Abbas bin Abdul
Muthalib. Ia termasuk wanita terhormat yang melahirkan banyak tokoh. Lubabah
adalah wanita kedua yang masuk Islam di Makkah setelah Khadijah.
Kemudian, wanita bernama Rufaidah
al-Anshariah. Dia termasuk perawat wanita pertama dalam sejarah Islam. Tugasnya
merawat para tentara yang terluka di medan perang. Pengabdiannya di bidang
rawat-merawat ini sangat teruji. Dan dengan sepenuh hati dia mengabdikan
dirinya untuk melayani para pejuang Islam. Dialah yang membalut luka Sa’ad bin
Abi Waqqash ketika dibawa ke kemahnya sewaktu Perang Khandaq.
Lalu, ada Rumaisha binti Milhan, seorang
sahabat wanita yang terpandang. Dia adalah ibu Anas bin Malik yang aktif ikut
dalam beberapa pertempuran bersama Rasulullah. Pada waktu Perang Uhud, Rumaisha
bertugas sebagai penyuplai minuman para pejuang dan mengobati yang cedera. Pada
waktu Perang Hunain dia bersama Aisyah bertugas mengambil air dan membawanya
dengan kantong-kantong kulit untuk diberikan kepada kaum muslimin di saat
perang sedang berkecamuk, setelah itu mereka kembali lagi mengambil air dan
membawanya ke barisan kaum muslimin.
Kemudian wanita yang satu ini. Namanya, Syifa binti Abdullah al-Adawiah al-Quraisyiah. Pada zaman
jahiliyah sudah pandai baca-tulis dan setelah Islam dia mengajari Hafsah (salah
satu istri Rasulullah) membaca dan menulis. Demi meningkatkan mutu pendidikan
dan pengajaran yang dilakukannya, Rasulullah memberikannya sebuah rumah di
Madinah. Ia termasuk guru wanita pertama di masa perjuangan Islam.
.jpg)
#puisi "Remaja"
Remaja
Kita adalah pujangga
Wajah yang tersirat
Tulus dan penuh arti
Kitalah penyongsog
Masa diatas yang tertua
Remaja
Walau jatuh, kita tetaplah kembang
Masa emas bukanlah mimpi
Walau harus terbang
Apalah arti mimpi
Tanpa cinta yang tulus, putih
Remaja
wajah kan menatap seribu mentari
tangan kan genggam sejuta bintang
kita kan terus berjalan, menggapai pelangi
Remaja
Walau badai dan petir menghampiri
Selalu dengan hati senjata diri
Kitalah gagak yang perkasa
Kitalah burung yang bebas
Kita. Adalah kupu-kupu yang indah
#puisi "Dendam"
Busukmu telah kucium
Dari galaksi abu-abuku ini
Dengan lukisan permata putih
Hanya deras yang megucur
Kau tak butuh kain hitam itu
Aku tlah sampai di sini
Meninggalkan awan gelapku
Tak akan padam kobaran merah ini
Sebelum meledak pengadilan biru tua
Kau adalah dewa kegelapan
Kau dan semua bayangmu!
Tak akan berarti secuil batu ini
Hingga bumi mengayun dan bergoyang
Memuntahkan kau dan semua bayangmu
Kini, aku tlah terbang bersama bayangku
Menari di galaksi yang tak lagi kelabu
Di atas lautan mimpi biru indahku
Walau hanya secuil batu
Terbukti sudah cahaya emasku
#Puisi "Pesan Pada Sang Surya"
Desah lirih
Dalam hati, suaraku memanggil
Dalam gelap, berlari, mengejar
Berusaha menggapai
Walau hanya angin lalu
Terasa dalam jiwa
Gundah, resah, terhanyut
Dalam lautan keraguan
Tenggelam hingga ke dasar
Tak mampu kembali
Walau hanya tuk sejengkal
Aku ingin kau mendengarku
Hanya kau, bintang tidurku
Sampaikan pesanku pada awan
Yang menutup cahaya siangku
Pergilah, kejarlah
Mentari yang berlalu
Sampaikan semuanya
Tumpahkan segala emosimu
Sang Penyelamat
Kalau saja tak begitu kejadiannya, kalau bukan aku yang mengalami
peristiwa itu, pasti tak begini jadinya. Pasti tak ada rasa kehilangan dan duka
cita yang mendalam di hati warga dusun Margan Kispu. Aku masih ingat detail
kejadianya. Tapi aku takut mengungkapkan yang sebenarnya. Aku takut Ibu dan
warga yang lain tak menerima kenyataan yang pahit ini. Aku takut mereka akan
menghukumku walau aku tahu ini bukan salahku.
Hari ini
hari Minggu, sekolah kami libur. Aku dan kedua adik kembarku, Maryam dan Mutia
sudah rapi mengenakan pakaian santai, celana panjang warna gelap yang sudan
dimasukkan kedalam sepatu boots kami. Hari ini kami hendak membantu ibu memanen
aneka sayuran di ladang sayur peninggalan bapak. Inilah rutinitas kami sebagai
warga dusun Margan Kispu yang jauh dari keramaian kota. Siang, selepas sekolah
kami –aku dan kedua adikku- makan makanan yang telah diediakan Ibu sebelum
pergi berladang , lantas sholat berjamaah dan pergi ke ladang untuk membantu Ibu.
Kami baru akan pulang kalau matahari sudah tergelincir,atau bahkan saat hari
mulai gelap. Kami memang harus bekerja keras , terlebih sepeninggal bapak.
Jadwal belajar, mengaji, dan membantu ibu telah memenuhi hari-hari kami. Ibu
memang orang yang keras. Terlebih padaku. satu-satunya anak lelaki dan sebagai
anak sulung ibu. Tak ada waktu bermain, hari-hari dipenuhi peraturan, supaya
kami lebih disiplin kata ibu. Namun dibalik itu semua, terlihat dari matanya
yang teduh , Ibu adalah orang yang lembut dan penuh kasih sayang.
Ibu
bergegas mengunci pintu, memimpin kami pergi ke ladang.
“ Ayo
cepat! Mutia, Maryam!” seruku pada kedua
adikku. Mereka memang selalu lambat kalau berjalan. Aku berjalan agak cepat
berusaha menyamai langkah ibu.
“Bu, apa
yang akan kita lakukan nanti bu?” Maryam
bertanya dengan setengah berlari, berusaha menyamai langkah ibu.
“Sudah, kau
lihat saja nanti” kata ibu “ayo cepat! Bergegas!” lanjutnya.
Kami pun melanjutkan
perjalanan dengan tergopoh-gopoh, setengah berlari berusaha menyamai langkah
ibu.
Kami telah sampai di ladang. Dengan sigap aku dan
Maryam mencabut tanaman-tanaman pengganggu dan menyiram tanah yang sudah agak
kering. Ibu dan Mutia memanen sayur yang telah siap dipanen.
“Besok Ibu akan terus berladang sampai malam tiba.
Jangan lupa mengaji dan belajar. Pimpin adik-adikmu itu. Jangan berbuat yang
aneh-aneh seperti tempo hari lagi. Mengerti kau Adi?”
“ Ya Bu, Adi mengerti.”
“ Ya sudah lanjutkan pekerjaan kalian!”
“ Baik Bu.” kami serempak menjawab.
Aku bersama Maryam melanjutkan
pekerjaan kami. Setelah selesai, kami membantu ibu dan Mutia memanen supaya
cepat selesai.
Ladang kami memang luas, kami juga memiliki kebun
yang lumayan luas. Tak heran kalau sore hari kami baru pulang, setelah
sebelumnya ke pasar sayur menitipkan hasil panen kami pada para pedagang sayur
dan buah-buahan. Begitu tiba di rumah, aku, Mutia, dan Maryam segera pergi ke
sungai untuk mandi. Selepas mandi kami pergi mengaji di rumah Ustad Azwar
hingga malam hari. Lalu kami belajar, dan tidur. Jadwal tetap harian kami,
takkan pernah berubah.
Sudah pagi, saatnya pergi ke sekolah. Aku tetap
sekolah ,walaupun banyak anak seusiaku di dusun kami yang sudah putus sekolah
dan ikut bapak ibunya berladang. Tapi bagi ibu, sekolah adalah nomor satu. Jadi
kami harus tetap sekolah walaupun pasti sangat berat bagi ibu untuk mengurus
rumah tangga dan ladang hanya seorang diri. Akupun begitu. Menurutku, sekolah
adalah hal yang paling penting. Hanya saat istirahat sekolah waktuku bermain.
Tak sekolah berarti tak ada waktu bermain, karena kami pasti harus ikut ibu
meladang.
“Hei!” Lukman,
sahabat karibku menepuk pelan bahuku.
“ Oi! Kau mengagetkanku
saja. Ada apa?” balasku.
“ Apa kau tahu
hutan liar di kanan dusun kita?”
“ Ya, aku tahu.
Memangnya kenapa?” semua orang di dusun kami memang tahu hutan liar itu. Tak
terkecuali aku.
“ Apa kau tahu,
apa yang aku lihat di sana kemarin?”
“ Sudah pasti kau
melihat pohon, tak ada sesuatu selain pohon disana.”
“ Oi, bukan itu
maksudku. Ada ‘sesuatu’ lain yang menakjubkan!” Lukman berkata dengan mata
berbinar, seperti melihat sesuatu yang sangat dahsyat.
“ Apa itu? Beri
tahu aku!” aku mulai tak sabar. Lukman memang selalu berbelit-belit.
“ Tebak dulu apa
itu!”
“ Apa itu hewan?
Kau selalu tertarik pada hewan”
“ Ya benar! Kau
harus melihatnya! ada buaya muara yang rupanya terjebak di sungai .”
“ Sungai? Maksudmu
sungai di tengah hutan itu?”
“ Ya. Rupanya dia
terjebak. Kau harus melihatnya, dia sangat besar dan menakjubkan. sebelum dia
menemukan jalan pulang ke rumahnya, kau harus cepat.”
“ Kelihatannya
menakjubkan memang, tapi aku takkan punya waktu bermain, apalagi ke hutan. Itu
mustahil ”.
Sepulang
sekolah, kami melaksanakan kembali kebiasaan rutin kami. Belum ada yang
berubah, hingga saat kami pulang mengaji.
“Maryam,
Mutia, apa kau punya pengalaman bermain ke sana?”
“ Ke hutan
maksud kakak?” Mutia membalas bertanya.
“ Ya. Apa
kau pernah bermain ke sana?” aku mengulang pertanyaanku.
“ Tidak
kak. Aku tak pernah bermain ke sana.” Mutia menjawab.
“ Bagaimana
denganmu Maryam, kau pernah bermain ke sana?” aku bertanya pada Maryam
“ Aku juga
tak pernah kak” Kata Maryam.
“Bagus.
Mari kita ke sana, sekarang.”
“ Kehutan?”
“Malam-
malam begini?” Mutia dan Maryam bertanya hampir bersamaan.
“ Ya. Ayo,
lekas. Kita harus lebih dulu tiba di rumah dari pada ibu.”
“Aku tak
mau ikut kak” Maryam menolak
“ Aku juga
kak. Kami pulang sendiri saja.” Mutia berkata tegas.
“ Tak
boleh, aku takkan membiarkan kalian pulang sendiri. Kita pergi bertiga, pulang
juga harus bertiga.” aku berkata tak kalah tegas. Kutuntun kedua adikku masuk
ke dalam hutan. Kami berjalan bersisihan, menyusuri hutan dengan jantung berdegup kencang. Takut
akan terjadi sesuatu diantara kami.
“ Bukankah ibumu bersama semua orang dewasa
di dusun akan pergi berladang hingga malam hari?”
“ Ya . Memang kenapa?
“ Itulah kesempatanmu bermain. Masuk hutan
melihat buaya muara.”
“ Mungkin, tapi aku takkan menurutimu pergi
kesana”
“ Kenapa? Kau takut?”
“ Tidak” aku menjawab lantang. Aku paling
tidak suka kalau dikatakan penakut oleh siapapun.
“ Lantas mengapa kau tak mau pergi?” Lukman
masih berusaha membujukku
“ Pokoknya aku tak mau. Tak ada alasan yang
bisa diungkapkan, karena aku memang tak mau.” aku menjawab tegas.
“ Berarti benar, kau memang takut.”
“ Tidak, aku tidak takut!”
“ Dasar Adi penakut!”
“ Hei! Apa kau bilang? Aku tak takut!”
mukaku mulai merah, geram
“ Kau penakut! Kalau memang tak takut,
buktikan!”
“ Baik, nanti selepas mengaji, tunggu aku di sana, aku
pasti datang!” aku mengucapkannya diluar kendaliku. Aku sangat emosi dan
tercetuslah janji bodoh itu.
Genggamanku
semakin erat,degup jantung semakin jelas terdengar. Bayangan- bayangan buruk
yang menghantuiku semakin riang menari dan berputar di pikiranku. Sudah tinggal
sepuluh meter saja jarak kami dengan
sungai yang dimaksud. Namun tanda-tanda adanya Lukman masih belum tercium. Aku
semakin ragu untuk melanjutkan perjalanan. Bagaimana tidak, obor, satu-satunya
petunjuk jalan yang kami bawa mati. Tiba-tiba ada angin kencang tadi, sehingga
kami kehilangan penerangan sekarang. Kami berjalan mengikuti kata nurani. Tak
ada yang mengerti jalan pulang, karena kami tak berpengalaman pergi ke tempat
ini. Semakin melangkah, degup jantungku semakin keras. Ada firasat buruk yang
sangat kuat menancap di hatiku. Aku memutuskan untuk berhenti sejenak,
menenangkan diri dan memohon petunjuk pada Allah, kemana kita harus pergi.
“Kak,
kenapa berhenti?”
“ Tak
apa-apa, kakak hanya ingin berpikir sejenak, kira-kira dimana letak rumah
kita.”
“ Kak,
sepertinya kita harus berbalik, kemudian belok ke kiri. Kulihat di depan ada
sungai, tak mungkin kita menyebranginya.” Mutia seakan menjawab keraguanku.
“ Di depan
ada sungai katamu?” aku bertanya pada
Mutia
“Ya.” Mutia
menjawab tanpa keraguan.
“ Baik,
kita akan ke sungai itu” aku bergumam.
“ Sudah
cukup kami menuruti kebodohan kakak untuk masuk hutan, sekarang kita harus
pulang kak!” Maryam berkata dengan lantang, memecah kesunyian.
“ Sebentar
saja, hanya menengok ada apa disana.” aku berkata dengan sedikit ragu.
“ Baik,
hanya melihat!” Mutia memutuskan
“Ya. Hanya
melihat” aku mengiyakan.
Suasana
semakin menegangkan. bagaimana kalau
buaya itu tiba-tiba menyerang kami dari belakang? jantungku berdegup
semakin cepat.
“Apa itu
kak? ada yang mengikuti kita!” Mutia tiba-tiba berseru kencang.
“ BUAYA
!!!” Maryam berseru lantang sekali.
“ LARI!!
CEPAT LARI!! Kalian berdua pulanglah, aku akan menanganinya” aku berseru tak
kalah lantang. Mutia menggenggam tanganku.
“Pulanglah
berdua, aku akan mengalihkan perhatian buaya ini”
“Tidak!
Kita pergi bertiga, pulang juga harus bertiga.” Mutia mengulang ucapanku tadi.
“Sudah
jangan membantah! Pulanglah! Cari pertolongan!” aku setengah mendorong bahu
kedua adikku itu supaya mereka menurut. Kini tinggal aku seorang diri. Buaya
itu sudah lima meter di depanku. Tiba-tiba Lukman menepuk pundakku.
“ Kau sudah
menepati janjimu, sekarang mari kita lawan buaya ini bersama!” Lukman berkata
pelan, nyaris berbisik. Semangatku kembali bersinar, aku punya tim sekarang.
Kesempatan pulang dengan delamat semakin besar. Jarak buaya dengan kami hanya
tiga meter lagi. Mungkin buaya itu sangat lapar, jalannya lamban sekali. Aku
dan Lukman sudah bersiap-siap melawan buaya itu. Kami sudah menggenggam bambu
runcing di satu tangan dan tangan yang lain saling bergandengan erat satu sama
lain.
Jarak buaya
itu sudah satu meter lagi. Dengan modal keberanian yang aku kumpulkan sejak
tadi dan kekuatan penuh, aku tusuk mata kanan buaya itu. Lukman menusuk mata
kiri buaya itu. Tangan kami merah penuh darah, semerah muka kami. Buaya itu tak
berhasil kami lumpuhkan. Ia marah, jalannya semakin cepat tak terkendali. Buaya
itu tiba-tiba membuka mulutnya dengan lebar. kami sudah siap berlari, namun
tiba-tiba kaki Lukman tersandung batu dan jatuh ke belakang. Dengan cepat kaki
Lukman terjebak di antara dua batang pohon besar yang tumbang. Aku berusaha
menariknya, namun aku kalah cepat dengan buaya itu. Dengan sekejap, kulihat
tubuh lukman remuk, hancur, dan akhirnya lenyap ke dalam mulut buaya sialan
itu.
``~~~~~~~~``
Sudah
terhitung tiga hari setelah peristiwa itu. Aku selamat, aku bersyukur karena
itu. Seluruh warga sibuk mencari Lukman sejak tiga hari yang lalu. Mereka tidak
bekerja hanya untuk mencari Lukman, anak Kepala Dusun Margan Kispu. Aku tak
tahu sampai kapan aku akan diam seperti ini, aku takut mengatakan yang
sebenarnya. Aku sudah berjanji pada Lukman, orang yang menyelamatkan nyawaku
malam itu. Permintaan terakhir Lukman, dan janjiku yang terakhir padanya.
Sungguh, aku takkan berkata pada siapapun tentang ini. Aku berjanji.
”Kakiku sekarang sudah terjebak, tak mungkin
bisa kau tarik dengan cepat, mendahului larinya buaya itu. Aku yang memaksamu
ke sini, aku yang harus menanggung semuanya. Pulanglah, jangan perdulikan aku.
Biarkan aku dimakan buaya ini, jangan berkata pada siapapun tentang apa yang
aku lakukan ini. Biarkan aku pergi, jangan kau sakiti buaya ini jika ia
memakanku. Sungguh ini adalah salahku dan aku yang harus menanggung akibatnya.”
“ Takkan ku biarkan kau dimakan buaya itu!”
“ Pulanglah! Biarkan aku menanam kebaikan
dengan menyelamatkanmu sebelum aku pergi. Pulanglah Adi, pulanglah!”
Air mataku menetes. Kubiarkan aku menangis di depan Lukman. Kubiarkan
ia tahu betapa kehilangannya aku padanya. Aku berjanji Lukman, janjiku yang
terakhir padamu, dan bukan janji bodoh seperti saat lalu.
Merokok Memutuskan Kalian dari Setiap Kebaikan
Merokok Memutuskan Kalian dari Setiap Kebaikan
Sultan Awilya Syaikh Muhammad Nazim Adil Al-Haqqani
Dari Buku Mercy Oceans - Divine Sources.
Bismillahir Rohmaanir Rohim
seseorang bertanya kepada teman-temannya yang baru menjadi muslim bagaimana dia berusaha sukses untuk hidup sebagai muslim. Dan dia menjawab: "Saya baik-baik saja, saya sudah mulai sholat dan puasa sesuai perintah Allah dan telah meninggalkan banyak perilaku larangan utama. Hanya satu masalah yang tersisa sampai sekarang adalah ketidak mampuan saya untuk berhenti merokok."
Lihat, merokok dari sisi umum dan kebanyakan orang, khususnya sisi kaum muslim, mereka menganggap merokok sebagai sesuatu yang tidak atau sedikit berpengaruh pada karakter seseorang. Karena mereka menganggap kecil atau tidak berpengaruh pada kehidupan agama mereka, maka kaum muslim merokok lebih banyak dari kaum yang lain, bahkan mereka merokok seperti cerobong asap.
Saat anda menerima Islam, anda mampu meninggalkan semua perilaku yang paling sangat diharamkan, dan itu sangat baik, tidak semua orang bisa melakukannya dengan mudah. Apalagi langsung berubah setelah anda menerima kepercayaan Islam. Hanya satu masalah besar kata anda, yaitu kecanduan anda pada tembakau, hingga merokok menguasai hati kalian, sampai tingkat tertentu dimana meninggalkan merokok adalah suatu perjuangan yang tidak mungkin anda menjadi pemenangnya.
GrandSyaikh Abdullah Faiz Ad-Daghistani qs (semoga Allah meridhoi beliau) sering berkata bahwa merokok, meskipun tidak berarti menurut pandangan orang, sebenarnya pada kenyataan adalah salah satu kelemahan terbesar orang yang beriman, karena kebiasaan merokok membiarkan korbannya sama sekali kehilangan kekuatan untuk berkeinginan.
Rokok menjebak orang dan merusak kemauannya dengan suatu cara pasti, dimana kalau orang tidak bisa berhenti dari kebiasaan buruk merokok, maka suatu hari merokok akan memutusnya dari setiap kebaikan yang dilakukannya, bahkan dari ke Imanannya dan kepercayaannya.
Hal inilah yang menjadi alasan pokok untuk berhenti dari kebiasaan merokok diantara banyak alasan kuat lainnya. Kalian harus meninggalkan kebiasaan merokok dengan segera dan selamanya sehingga kemauan akan tumbuh lagi, dan melindunginya untuk jatuh dalam control orang lain. Maksud saya dengan "lain", adalah kemauan/keinginan rendah orang itu dan setan, yang berdiri dibelakang sebagai penasehat kejahatan bagi ego. Siapapun yang tidak mampu menguasai dirinya akan beralih ke tangan nafsu binatangnya dan nafsu Setan, yang siap menghancurkan sisi manusia dari ruhani anda.
Allah Yang Maha Kuasa berfirman dalam Kitab Al Qur'an: "Oh Umatku, kalian akan melihat sesuatu sebagai hal yang tidak berakibat besar bagi kalian, tetapi dihadapanKu hal itu sangat berbahaya dan berakibat besar." Sekarang merokok bagi kaum Muslim tampaknya tidak masalah, tapi dihadapan Allah Yang Maha Kuasa hal itu adalah suatu kelemahan fatal untuk orang yang beriman.
Merokok bagi orang yang beriman adalalah bagaikan kalian membiarkan lubang kecil di pintu yang dapat dilewati maling. Sekarang anda sudah menutup semua pintu-pintu untuk melakukan dosa besar yang dilarang Allah, tapi apa artinya kalau lubang kecil itu tetap ada? Apa maksud keberadaan sebuah pintu seperti itu? Lebih baik dibiarkan saja terbuka lebar untuk semua kebaikan yang akan masuk. Mungkin anda akan berkata: "Pintu itu tebal dan saya sudah menutup dan menguncinya dengan kuat, apalah arti sebuah lubang kecil, itu tidak masalah."
Apa yang tidak masalah? Kalian bilang tidak masalah, tetapi lihat, maling dapat membuka pintu dengan memasukkan kawat melalui lubang tadi dan dia lari dengan mengambil semua hartamu! Maka, kalau seseorang membiarkan lubang seperti itu untuk masuk dan berkuasanya setan, maka ia akan mempertaruhkan kepercayaannya dan keimanannya dalam bahaya besar. Maka orang itu berkata pada temannya: Kamu telah meninggalkan begitu banyak larangan yang tidak disenangi Tuhan. Kamu telah mengunci semua pintunya, sekarang kamu harus berpikir apa yang bisa dilakukan soal lubang kecil dipintumu yang disebabkan rokok tersebut.
Wa min Allah at Tawfiq
"Boleh Jadi, Kau Membenci Sesuatu, Padahal Ia Amat Baik Bagimu"
Dahulu, sebelum ada vaksinasi, cacar adalah salah satu penyakit yang tersebar di mana-mana, dan atas kehendak Allah Yang Maha Hidup dan Maha Mengurus segala sesuatu, sering kali (penyakit cacar itu) mengakibatkan kematian di kalangan masyarakat.
Syahdan, di antara mereka ada yang terjangkit bencana ini; seorang lelaki berumur 6 tahun dari sebuah dusun di utara kota Buraidah di wilayah Al-Qashim. Peristiwa ini terjadi di abad 14 H. Akibatnya, ia mengalami kebutaan total dan berwajah bopeng.
Anak ini tinggal di tengah saudara-saudaranya yang bekerja sebagai petani di sawah. Dia sering berlari-lari di belakang mereka, hendak mengejar mereka saat berjalan bersama. Akan tetapi, tentu saja hal ini sering kali menyebabkannya tersandung dan terjerembab di mana-mana, lalu terluka. Namun, ia segera bangkit mengejar arah datangnya suara mereka, lalu ia menabrak pohon di mana-mana, sementara saudara-saudaranya hanya menertawainya ketika ia jatuh, bahkan (mereka) mengejeknya, “Buta …! Buta …!”
Mereka tidak peduli dan tidak menanyakan apabila dia tidak ada dan (mereka) bersikap acuh kalau dia ada di tengah mereka. Bahkan, di kala orang tuanya tidak ada dirumah, sering kali ia menjadi bulan-bulanan saudara-saudaranya, yaitu ketika dia disuruh berjalan lalu terantuk dan terjatuh, maka ia menjadi bahan tertawaan. Meskipun demikian, dia termasuk anak yang lincah dan gerakannya ringan. Kemauannya keras dan mempunyai ketabahan, dan Allah telah mengaruniakan kepadanya kecerdasan dan kemauan yang keras. Dia selalu berupaya melakukan apa saja yang dia mau. Dia ingin mengerjakan lebih banyak daripada yang dilakukan orang normal.
Ayahnya adalah orang yang miskin. Dia memandang anaknya yang buta ini hanya menjadi beban saja, karena dia tidak mendapatkan manfaat dan keuntungan darinya sebagaimana saudara-saudaranya yang lain.
Suatu hari, salah seorang temannya datang ke rumah. Sudah beberapa tahun mereka tidak jumpa. Dia lalu mengadukan kepada temannya tersebut perihal anaknya yang buta bahwa anak itu tidak berguna, bahkan mereka sekeluarga selalu sibuk mengurus dan melayaninya, sehingga menghambat sebagian pekerjaan mereka. Tamu tersebut menyarankan agar anak itu dikirim ke Riyadh agar mendapat jaminan makanan dari jamuan yang selalu diadakan oleh Ibnu Sa’ud (Setelah keamanan dalam negeri di seluruh Jazirah Arab terkendali di tangan Raja Abdul ‘Aziz rahimahullah, dia mengadakan jamuan khusus untuk memberi makan kaum fakir miskin dan orang orang terlantar. Pada masa itu, jamuan tersebut sangat terkenal), sehingga (ia) akan selalu bertemu dengan orang orang yang mengasihinya setiap saat.
Ide tersebut diterima dengan baik oleh ayahnya. Ketika ada seorang tukang unta tampak sedang membuat kayu ke atas punggung untanya yang biasanya menjual barang dagangan di Riyadh, ayahnya menghampiri tukang unta dan berkata, “Aku hendak menitipkan anakku ini padamu. Bawalah dia pergi ke Riyadh dan saya beri kamu dua riyal, dengan syarat: kamu taruh dia di masjid, dan kamu tunjukkan di mana letak jamuan makan dan sumur masjid agar dia bisa minum dan berwudhu, dan serahkan dia kepada orang yang mau berbuat kebajikan kepadanya.”
Berikut ini penuturan kisah sang anak setelah (ia) dewasa,
Aku dipanggil ayahku -rahimahullah-. Pada waktu iu, umurku baru mendekati 13 tahun. Beliau berkata, “Anakku, di Riyadh itu ada halaqah-halaqah ilmu, ada jamuan makan yang akan memberimu makan malam setiap hari, dan lain sebagainya. Kamu akan betah disana, insya Allah. Kamu akan ayah titipkan pada orang ini. Dia akan memberitahu kamu apa saja yang kamu inginkan ….”
Tentu saja, aku menangis keras-keras dan mengatakan, “Benarkah orang sepertiku tidak memerlukan lagi keluarga? Bagaimana mungkin aku berpisah dengan ibuku, saudara-saudara, dan orang orang yang aku sayangi? Bagaimana aku akan mengurus diriku di negeri yang sama sekali asing bagiku, sedangkan di tengah keluargaku saja aku mengalami kesulitan? Aku tidak mau!”
Aku dibentak oleh ayahku. Beliau berkata kasar kepadaku. Selanjutanya, beliau memberiku pakaian-pakaianku seraya berkata,“Tawakal kepada Allah dan pergilah …. Kalau tidak, kamu akan aku begini dan begini ….”
Suara tangisku makin keras, sementara saudara-saudaraku hanya diam saja di sekelilingku. Selanjutnya, aku dibimbing oleh si tukang unta sambil menjanjikan kepadaku hal-hal yang baik baik dan meyakinkan aku bahwa aku akan hidup enak di sana.
Aku pun berjalan sambil tetap menangis. Tukang unta itu menyuruh aku berpegangan pada ujung kayu di bagian kelakang unta. Dia berjalan di depan unta, sedangkan aku di belakangnya, sementara suara tangisku masih tetap meninggi. Aku menyesali perpisahanku dengan keluargaku.
Setelah lewat sembilan hari perjalanan, tibalah kami di tengah kota Riyadh. Tukang unta itu benar benar menaruh aku di masjid dan menunjukkan aku letak sumur dan jamuan makan. Akan tetapi aku masih tetap tidak menyukai semuanya dan masih merasa sedih. Aku menangis dari waktu ke waktu. Dalam hati, aku berkata, “Bagaimana mungkin aku hidup di suatu negeri yang aku tidak mengetahui apa pun dan tidak mengenal siapa pun? Aku berangan-angan, andaikan aku bisa melihat, pastilah aku sudah berlari entah kemana … ke padang pasir barangkali. Akan tetapi, atas rahmat Allah, ada beberapa orang yang menaruh perhatian kepadaku di masjid itu. Mereka menaruh belas kasihan kepadaku, lalu mereka membawaku kepada Syekh Abdurrahman Al-Qasim rahmahullah dan mereka katakan, “Ini orang asing, hidup sebatang kara.”
Syekh menghampiri aku, lalu menanyai siapa namaku dan nama julukanku, dan dari negeri mana. Kemudian, beliau menyuruh aku duduk di dekatnya, sementara aku menyeka air mataku. Beliau berkata, “Anakku, bagaimana ceritamu?” Kemudian, aku pun menceritakan kisahku kepada beliau.
“Kamu akan baik baik saja, insya Allah. Semoga Allah memberimu manfaat dan membuat kamu bermanfaat. Kamu adalah anak kami dan kami adalah keluargamu. Kamu akan melihat nanti hal-hal yang menggembirakanmu di sisi kami. Kamu akan kami gabungkan dengan para pelajar yang sedang menuntut ilmu dan akan kami beri tempat tinggal dan makanan. Di sana ada saudara-saudara di jalan Allah yang akan selalu memperhatikan dirimu.”
Aku menjawab, “Semoga Allah memberi Tuan balasan yang terbaik, tetapi aku tidak menghendaki semua itu. Aku ingin Tuan berbaik hati kepadaku, kembalikan aku kepada keluargaku bersama salah satu kafilah yang menuju Al-Qashim.”
Syekh berkata, “Anakku, coba dulu kamu tinggal bersama kami, barangkali kamu akan merasa nyaman. Kalau tidak, kami akan mengirim kamu kembali kepada keluargamu, insya Allah.”
Selanjutnya, Syekh memanggil seseorang lalu berkata, “Gabungkan anak ini dengan Fulan dan Fulan, dan katakan kepada mereka, perlakukan dia dengan baik.”
Orang itu membimbing dan membawaku menemui dua orang teman yang baik hati. Keduanya menyambut kedatanganku dengan baik dan aku pun duduk di sisi mereka berdua, lalu aku ceritakan kepada mereka berdua keadaanku dan mengatakan bahwa aku tidak betah tinggal di situ karena harus berpisah dari keluargaku. Tak ada yang dilakukan kedua temanku itu selain mengatakan kepadaku perkataan yang menghiburku. Keduanya menjanjikan kepadaku yang baik-baik dan bahwa kami akan sama sama mencari ilmu, sehingga aku sedikit merasa tenteram dan senang kepada mereka. Keduanya selalu bersikap baik padaku. Semoga Allah memberi mereka dariku balasan yang terbaik. Akan tetapi, aku sendiri belum juga terlepas dari kesedihan dan keenggananku tinggal di sana. Aku masih tetap menangis dari waktu ke waktu atas perpisahanku dengan keluargaku.
Kedua temanku itu tinggal di sebuah kamar dekat masjid. Aku tinggal bersama mereka. Keseharianku selalu bersama mereka. Pagi-pagi benar, kami pergi shalat subuh, lalu duduk di masjid mengikuti pengajian Alquran sampai menjelang siang. Syekh menyuruh kami menghapal Alquran. Sesudah itu, kami kembali ke kamar, istirahat beberapa saat, makan ala kadarnya, kemudian kembali lagi ke pengajian hingga tiba waktu zuhur. Barulah setelah itu, kami istirahat, yakni tidur siang (qailulah), dan sesudah shalat Ashar kami kembali lagi mengikuti pengajian.
Demikian yang kami lakukan setiap hari hingga akhirnya mulailah aku merasa betah sedikit demi sedikit, makin membaik dari hari ke hari, bahkan akhirnya Allah melapangkan dadaku untuk menghapal Al Quran, terutama setelah Syekh–rahimahullah–memberi dorongan dan perhatian khusus kepadaku. Aku pun melihat diriku mengalami kemajuan dan menghapal hari demi hari. Sementara itu, Syekh selalu mempertajam minat para santrinya. Pernah suatu kali, beliau berkata,“Kenapa kalian tidak meniru si Hamud itu? Lihatlah bagaimana kesungguhan dan ketekunannya, padahal ia orang buta!”
Dengan kata-kata itu, aku semakin bersemangat, karena timbul persaingan antara aku dan teman temanku dalam kebaikan. Oleh karena itu, kurang dari satu setengah bulan, Allah ta’ala telah mengaruniai aku ketenteraman dan ketenangan hati, sehingga dapatlah aku menikmati hidup baru ini.
Syahdan, setelah tujuh bulan lamanya aku tinggal di sana, aku katakan dalam diriku, “Subhanallah, betapa banyak kebaikan yang terdapat dalam hal-hal yang tidak disukai hawa nafsu, sementara diri kita melalaikannya! Kenapa aku harus sedih dan menangisi kehidupan yang serba kekurangan di tengah keluargaku, yang ada hanya kebodohan, kemiskinan, kepayahan ketidakpedulian, dan penghinaan, sedangkan aku merasa menjadi beban mereka?”
Demikianlah kehidupan yang aku jalani di Riyadh setiap harinya, sehingga kurang dari sepuluh bulan aku sudah dapat menghafal Alquran sepenuhnya, alhamdulillah. Kemudian, aku ajukan hapalanku itu kehadapan Syekh sebanyak dua kali. Selanjutnya, Syekh mengajak aku pergi menemui para guru besar, yaitu Syekh Muhammad bin Ibrahim dan Syekh Abdul Latif bin Ibrahim. Aku diperkenalkan kepada mereka. Kemudian, guruku itu berkata, “Kamu akan ikut bergabung dalam halaqah-halaqah ilmu. Adapun murajaah Alquran, dilakukan sehabis shalat subuh, kamu akan dipandu oleh Fulan. Sesudah magrib, kamu akan dipandu oleh Fulan.”
Sejak saat itu, mulailah aku menghadiri halaqah-halaqah dari para guru besar itu, yang bisa menimba ilmu dengan kesungguhan hati. Materi pelajaran yang diberikan meliputi Akidah, Tafsir, Fikih, Ushul Fikih, Hadits, Ulumul Hadits, dan Fara’idh. Seluruh materi diberikan secara teratur, masing-masing untuk materi tertentu.
Sementara itu, aku sendiri, hari demi hari semakin merasa betah, semakin senang, dan tenteram hidup di lingkungan itu. Aku benar benar merasa bahaia mendapat kesempatan mencari ilmu. Sementara itu, agaknya orang tuaku di kampung selalu bertanya kepada orang-orang yang bepergian ke Riyadh, dan tanpa sepengetahuanku beliau mendapat berita-berita tentang perkembanganku.
Demikianlah, alhamdulillah, aku berkesempatan untuk terus mencari ilmu dan menikmati taman-taman ilmu. Setelah tiga tahun, aku meminta izin kepada guru-guruku untuk menjenguk keluargaku di kampung. Kemudian, mereka menyuruh orang untuk mengurus perjalananku bersama seorang tukang unta. Dengan memuji Allah, aku pun berangkat hingga sampailah aku kepada keluargaku. Tentu saja, mereka sangat gembira dan kegirangan menyambut kedatanganku, terutama Ibuku–rahimahallah–. Mereka menanyakan kepadaku tentang keadaanku dan aku katakan, “Aku kira, tidak ada seorang pun di muka bumi ini yang lebih bahagia selain aku ….”
Ya, kini mereka melihatku dengan senang dan santun. Demikian pula, aku melihat mereka menghargai dan menghormati aku, bahkan menyuruhku mengimami shalat mereka. Aku menceritakan kepada mereka pengalaman-pengalaman yang telah aku alami selama ini. Mereka senang mendengarnya dan memuji kepada Allah.
Setelah beberapa hari berada di lingkungan keluargaku, aku pun meminta izin untuk pergi meninggalkan mereka kembali. Mereka bersikeras memintaku untuk tetap tinggal, tapi aku segera mencium kepada ayah-bundaku. Aku meminta pengertian dan izin kepada keduanya, dan alhamdulillah mereka mengizinkan. Akhirnya aku kembali ke Riyadh meneruskan pelajaranku. Aku makin bersemangat mencari ilmu.
Adapun dari teman-temannya yang seangkatan, ada di antaranya yang menceritakan, “Dia sangat rajin dan bersemangat dalam mencari ilmu, sehingga dikagumi guru-gurunya dan teman-teman seangkatannya. Sangat banyak ilmu yang dia peroleh. Adapun hal yang sangat ia sukai adalah apabila ada seseorang yang duduk bersamanya dengan membacakan kepadanya sebuah kitab yang belum pernah ia dengar, atau ada orang yang berdiskusi dengannya mengenai berbagai masalah ilmu. Dia memiliki daya hapal yang sangat mengagumkan dan daya tangkap yang luar biasa.
Tatkala umunya mencapai 18 tahun, dia diperintahkan oleh guru didiknya dihadapan santri santri kecil dan agar menyuruh mereka menghapalkan beberapa matan kitab.
Ketika Fakultas Syariah Riyadh dibuka, beberapa orang gurunya menyarankan dia mengikuti kuliah. Dia mengikutinya, dan dengan demikian dia, termasuk angakatan pertama yang dihasilkan oleh fakultas tersebut pada tahun 1377 H. Kemudian, dia ditunjuk menjadi tenaga pengajar di Fakultas Syariah di kota itu.
Pada akhir hayatnya, dia pindah mengajar di fakultas yang sama di Al-Qashim, dan lewat tangannya muncullah sekian banyak mahasiswa yang kelak menjadi hakim, orator, guru, direktur, dan sebagainya.
Pada tiap musim haji, dia tergabung dalam rombongan pada mufti dan da’i, di samping kesibukannya sebagai pebisnis tanah dan rumah, sehingga dia bisa memberi nafkah kepada keluarganya dan saudara saudaranya, dan dapat pula membantu kerabat-kerabatnya yang lain.
Adapun saudara saudaranya yang dulu sering mengejeknya semasa kecil, kini mereka mendapatkan kebaikan yang melimpah darinya, karena sebagian mereka, ada yang kebetulan tidak pandai mencari uang.
Betapa banyak karunia dan nikmat yang terkandung pada hal-hal yang tidak disukai dari diri kita. Akan tetapi, firman Allah yang Maha Agung tentu lebih tepat,
“Boleh jadi, kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah yang paling mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah:216)
Disalin dari buku berjudul “Obat Penawar Hati yang Sedih“, karya Sulaiman bin Muhammad bin Abdullah Al-’Utsaimin. Penerbit: Darus Sunnah.
Dan di Publikasikan Oleh :artikel muslimah.or.id
Subscribe to:
Posts (Atom)