Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Featured Posts

Menghilangkan Rasa Malas

Malas, merupakan salah satu penyebab negara Indonesia ini tertinggal dengan negara lain khususnya hubungannya dengan Sumber Daya Manusia (SDM). Sebagai contoh janganlah jauh-jauh dahulu ke Eropa, tapi yang dekat terlebih dahulu seperti Malaysia ataupun Singapura yang secara geografis luas negaranya maupun kekayaan alamnya jauh berbeda dengan Indonesia namun jauh berbeda pula dalam hal "manusianya", padahal dulu pelajar maupun guru-guru dari Malaysia datang ke Indonesia ini untuk belajar memperdalam ilmunya.

>>Read_More

Para jagoan wanita di zaman Rasulullah SAW


Muslimah & Mujahidah Jika kita membaca sejarah para sahabat perempuan di zaman Rasulullah Shallallahu alaihi Wassalam, kita akan banyak menemukan kekaguman-kekaguman yang luar biasa. Mereka bukan hanya berilmu, berakhlaq, pandai membaca Al Qur’an, tapi juga jago pedang, berkuda dan memanah, dan tidak sedikit yang juga menjadi “dokter” yang pintar mengobati para sahabat yang terluka di medan perang. Bahkan, ada di antara mereka yang terpotong tangannya karena melindungi Rasulullah! Subhanallah... Simak kisah mereka..

Nusaibah si Jago Pedang
Rasulullah Shallallahu alaihi Wassalam yang mulia berdiri di puncak bukit Uhud dan memandang musuh yang merangsek maju mengarah pada dirinya. Beliau memandang ke sebelah kanan dan tampak olehnya seorang perempuan mengayun-ayunkan pedangnya dengan gagah perkasa melindungi dirinya. Beliau memandang ke kiri dan sekali lagi beliau melihat wanita tersebut melakukan hal yang sama – menghadang bahaya demi melindungi sang pemimpin orang-orang beriman.
Kata Rasulullah Shallallahu alaihi Wassalam kemudian, “Tidaklah aku melihat ke kanan dan ke kiri pada pertempuran Uhud kecuali aku melihat Nusaibah binti Ka’ab berperang membelaku.”
Memang Nusaibah binti Ka’ab Ansyariyah demikian cinta dan setianya kepada Rasulullah sehingga begitu melihat junjungannya itu terancam bahaya, dia maju mengibas-ngibaskan pedangnya dengan perkasa sehingga dikenal dengan sebutan Ummu Umarah, adalah pahlawan wanita Islam yang mempertaruhkan jiwa dan raga demi Islam termasuk ikut dalam perang Yamamah di bawah pimpinan Panglima Khalid bin Walid sampai terpotong tangannya. Ummu Umarah juga bersama Rasulullah Shallallahu alaihi Wassalam dalam menunaikan Baitur Ridhwan, yaitu suatu janji setia untuk sanggup mati syahid di jalan Allah.
Nusaibah adalah satu dari dua perempuan yang bergabung dengan 70 orang lelaki Ansar yang berbaiat kepada Rasulullah Shallallahu alaihi Wassalam. Dalam baiat Aqabah yang kedua itu ia ditemani suaminya Zaid bin Ahsim dan dua orang puteranya: Hubaib dan Abdullah. Wanita yang seorang lagi adalah saudara Nusaibah sendiri. Pada saat baiat itu Rasulullah menasihati mereka, “Jangan mengalirkan darah denga sia-sia.”
Dalam perang Uhud, Nusaibah membawa tempat air dan mengikuti suami serta kedua orang anaknya ke medan perang. Pada saat itu Nusaibah menyaksikan betapa pasukan Muslimin mulai kocar-kacir dan musuh merangsek maju sementara Rasulullah Shallallahu alaihi Wassalam berdiri tanpa perisai. Seorang Muslim berlari mundur sambil membawa perisainya, maka Rasulullah Shallallahu alaihi Wassalam berseru kepadanya, “berikan perisaimu kepada yang berperang.” Lelaki itu melemparkan perisainya yang lalu dipungut oleh Nusaibah untuk melindungi Nabi.
Ummu Umarah sendiri menuturkan pengalamannya pada Perang Uhud, sebagaimana berikut: “…saya pergi ke Uhud dan melihat apa yang dilakukan orang. Pada waktu itu saya membawa tempat air. Kemudian saya sampai kepada Rasulullah Shallallahu alaihi Wassalam yang berada di tengah-tengah para sahabat. Ketika kaum muslimin mengalami kekalahan, saya melindungi Rasulullah Shallallahu alaihi Wassalam, kemudian ikut serta di dalam medan pertempuran. Saya berusaha melindungi Rasulullah Shallallahu alaihi Wassalam dengan pedang, saya juga menggunakan panah sehingga akhirnya saya terluka.”
Ketika ditanya tentang 12 luka ditubuhnya, Nusaibah menjawab, “Ibnu Qumaiah datang ingin menyerang Rasulullah ketika para sahabat sedang meninggalkan baginda. Lalu (Ibnu Qumaiah) berkata, ‘mana Muhammad? Aku tidak akan selamat selagi dia masih hidup.’ Lalu Mushab bin Umair dengan beberapa orang sahabat termasuk saya menghadapinya. Kemudian Ibny Qumaiah memukulku.”
Rasulullah juga melihat luka di belakang telinga Nusaibah, lalu berseru kepada anaknya, “Ibumu, ibumu…balutlah lukanya! Ya Allah, jadikanlah mereka sahabatku di surge!” Mendengar itu, Nusaibah berkata kepada anaknya, “Aku tidak perduli lagi apa yang menimpaku di dunia ini.”
Subhanallah, sungguh setianya beliau kepada baginda Rasulullah Shallallahu alaihi Wassalam.


Khaulah binti Azur (Ksatria Berkuda Hitam)
Siapa Ksatria Berkuda Hitam ini? Itulah Khaulah binti Azur. Dia seorang muslimah yang kuat jiwa dan raga. Sosok tubuhnya tinggi langsing dan tegap. Sejak kecil Khaulah suka dan pandai bermain pedang dan tombak, dan terus berlatih sampai tiba waktunya menggunakan keterampilannya itu untuk membela Islam bersama para mujahidah lainnya.
Diriwayatkan betapa dalam salah satu peperangan melawan pasukan kafir Romawi di bawah kepemimpinan Panglima Khalid bin Walid, tiba-tiba saja muncul seorang penunggang kuda berbalut pakaian serba hitam yang dengan tangkas memacu kudanya ke tengah-tengah medan pertempuran. Seperti singa lapar yang siap menerkam, sosok berkuda itu mengibas-ngibaskan pedangnya dan dalam waktu singkat menumbangkan tiga orang musuh.
Panglima Khalid bin Walid serta seluruh pasukannya tercengang melihat ketangkasan sosok berbaju hitam itu. Mereka bertanya-tanya siapakah pejuang tersebut yang tertutup rapat seluruh tubuhnya dan hanya terlihat kedua matanya saja itu. Semangat jihad pasukan Muslimin pun terbakar kembali begitu mengetahui bahwa the Black Rider, di penunggang kuda berbaju hitam itu adalah seorang wanita!
Keberanian Khaulah teruji ketika dia dan beberapa mujahidah tertawan musuh dalam peperangan Sahura. Mereka dikurung dan dikawal ketat selama beberapa hari. Walaupun agak mustahil untuk melepaskan diri, namun Khaulah tidak mau menyerah dan terus menyemangati sahabat-sahabatnya. Katanya, “Kalian yang berjuang di jalan Allah, apakah kalian mau menjadi tukang pijit orang-orang Romawi? Mau menjadi budak orang-orang kafir? Dimana harga diri kalian sebagai pejuang yang ingin mendapatkan surga Allah? Dimana kehormatan kalian sebagai Muslimah? Lebih baik kita mati daripada menjadi budak orang-orang Romawi!”
Demikianlah Khaulah terus membakar semangat para Muslimah sampai mereka pun bulat tekad melawan tentara musuh yang mengawal mereka. Rela mereka mati syahid jika gagal melarikan diri. “Janganlah saudari sekali-kali gentar dan takut. Patahkan tombak mereka, hancurkan pedang mereka, perbanyak takbir serta kuatkan hati. Insya Allah pertolongan Allah sudah dekat.
Dikisahkan bahwa akhirnya, karena keyakinan mereka, Khaulah dan kawan-kawannya berhasil melarikan diri dari kurungan musuh! Subhanallah…

Nailah si Cantik yang Pemberani
Nailah binti al-Farafishah adalah istri Khalifah Ustman bin Affan. Dia terkenal cantik dan pandai. Bahkan suaminya sendiri memujinya begini: “Saya tidak menemui seorang wanita yang lebih sempurna akalnya dari dirinya. Saya tidak segan apabila ia mengalahkan akalku.” Subhanallah!
Mereka menikah di Madinah al-Munawwarah dan sejak itu Ustman kagum pada tutur kata dan keahlian Nailah di bidang sastra. Karena cintanya, Ustman paling senang memberikan hadiah untuk istrinya itu. Mereka punya satu orang anak perempuan, Maryan binti Ustman.
Ketika terjadi fitnah yang memecah belah umat Islam pada tahun 35 Hijriyah, Nailah ikut mengangkat pedang untuk membela suaminya. Seorang musuh menerobos masuk dan menyerang dengan pedang pada saat Ustman sedang memegang mushaf atau Al Qur’an. Tetesan darahnya jatuh pada ayat 137 surah Al Baqarah yang berbunyi, “Maka Allah akan memelihara engkau dari mereka.”
Seseorang pemberontak lain masuk dengan pedang terhunus. Nailah berhasil merebut pedang itu namun si musuh kembali merampas senjata itu, dan menyebabkan jari-jari Nailah terputus Ustman syahid karena sabetan pedang pemberontak. Air mata Nailah tumpah ruah saat memangku jenazah sang suami. Ketika kemudian ada musuh yang dengan penuh kebencian menampari wajah Ustman yang sudah wafat itu, Nailah lalu berdoa, “Semoga Allah menjadikan tanganmu kering, membutakan matamu dan tidak ada ampunan atas dosa-dosamu!”
Dikisahkan dalam sejarah bahwa si penampar itu keluar dari rumah Ustman dalam keadaan tangannya menjadi kering dan matanya buta!
Sesudah Ustman wafat, Nailah berkabung selama 4 bulan 10 hari. Ia tak berdandan dan berhias dan tidak meninggalkan rumah Ustman ke rumah ayahnya.
Nailah memandang kesetiaan terhadap suaminya sepeninggalnya lebih berpengaruh dan lebih besar dari apa yang dilihatnya terhadap ayahnya, saudara perempuannya, ibunya dan juga kerabatnya. Ia selalu mendahulukan keutamaannya, mengingat kebaikannya di setiap tempat dan kesempatan. Ketika Ustman terbunuh, ia mengatakan, “Sungguh kalian telah membunuhnya padahal ia telah menghidupkan malam dengan Al Qur’an dalam rangkaian rakaat.”
Subhanallah yah, ternyata umat muslim juga memiliki jagoan wanita yang memang nyata adanya, semoga kita, para muslimah dapat mengambil teladan dari mereka, aamiin.

Sumber: • Al-Ekhlaas Islamic Page
>>Read_More

Pejuang Wanita Masa Rasulullah SAW





 
Jauh sebelum kelahiran dan kehadiran pejuang-pejuang wanita dalam sejarah bangsa Indonesia, telah muncul dan lahir sejumlah pejuang wanita tangguh yang membela Islam pada masa Rasulullah dulu. Sebut saja istri pertama Nabi Muhammad saw, Khadijah. Dia termasuk pejuang wanita yang paling dikenang dalam sejarah agama Islam. Tidak hanya berkorban harta benda, Khadijah termasuk wanita pertama yang masuk Islam dan membela agama Allah ini dengan segenap jiwa raganya. Tak heran jika ia dijuluki “Khadijah al-Kubra”, yang agung. Bahkan Rasulullah pun sangat kehilangan ketika istrinya itu meninggal dunia, hingga tahun wafatnya disebut dengan amul huzni alias tahun duka cita.
Selain Khadijah, muncul pula Aisyah ra, yang juga termasuk istri Rasulullah. Putri sahabat Nabi, Abu Bakar as-Shiddiq ini memiliki peran yang sangat penting sepanjang sejarah perjuangan dakwah Islam. Aisyah termasuk perawi hadits terbanyak dan tempat belajarnya para sahabat. Bahkan, ada ulama yang mengatakan, seandainya ilmu seluruh wanita dikumpulkan dibanding ilmu Aisyah, maka ilmu Aisyah akan lebih banyak. Ia pun dijuluki ummul mukminin atau  ibunya kaum beriman.
Demikian pula dengan kaum wanita atau mujahidah-mujahidah yang lain pada masa Rasulullah. Mereka tidak ketinggalan dalam berlomba meraih kebaikan dan jihad, meskipun sibuk sebagai ibu rumah tangga. Mereka ikut belajar dan bertanya kepada Rasulullah saw. Bahkan para wanita ini juga turut berjuang di medan perang. Sebut saja, Nasibah binti Kaab atau yang dikenal dengan sebutan Ummu Imarah. Dia adalah mujahidah pembawa air dalam Perang Uhud. Istilah kerennya, dapatlah dikatakan kalau Ummu Imarah ini adalah pejuang di bagian logistik.
Bahkan di tengah berkecamuknya Perang Uhud, Ummu Imarah tidak hanya bertugas membagi air, dia turut pula mengangkat pedang dan busur panah guna menghalau kaum kafir yang ingin mendekati dan membunuh Rasulullah. Bersama Mush’ab bin Umair, Ummu Imarah berhasil melindungi Rasulullah dari sabetan pedang tentara Quraiys bernama Ibnu Qamiah, padahal saat itu dia dalam kondisi luka parah. “Setiap kali aku melihat kanan-kiriku, kudapati Ummu Imarah membentengiku pada Perang Uhud,” kenang Rasulullah saw. Begitulah ketangguhan Ummu Imarah.
Asma binti Abu Bakar juga termasuk “Kartini” pada masa Rasulullah. Adik dari Ummul Mukmini Aisyah ini termasuk sahabat wanita yang terkemuka dan masuk Islam sejak dini. Yang paling dikenal sejarah dalam perjuangan Asma adalah dalam peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad. Dengan menahan berbagai penderitaan dan penuh kesabaran dia membawa bekal bagi Rasulullah dan Abu Bakar as-Shiddiq, ayahnya. Dia dijuluki dzaatin nithaqain (wanita yang memiliki dua sabuk) karena memotong ikat pinggangnya menjadi dua bagian; satu bagian untuk tempat rangsum makanan dan satunya lagi untuk tempat minuman.
Ada pula Asma Binti Yazid al-Anshariah, salah seorang orator wanita terkemuka yang terkenal berani dan selalu tampil ke depan. Dia adalah seorang ahli hadits yang sempat mengikuti Perang Yarmuk. Dalam perang tersebut ia bertugas di bagian logistik dan medis, menyuplai minuman kepada para pejuang dan mengobati yang terluka. Suatu ketika, di saat peperangan sedang berkecamuk, dia mengambil tiang kemahnya dan maju ke medan pertempuran dan berhasil membunuh sembilan prajurit Romawi.
Ada lagi wanita pejuang yang gagah berani bernama Khansa binti Amru. Pada mulanya dia adalah penyair yang terkenal. Datang menjumpai Rasulullah saw mewakili kaumnya, kemudian masuk Islam dan melantunkan syair yang membuat Rasulullah kagum. Pada Perang Qadisiyah, Khansa bini Amru mati syahid. Sebelumnya, sang suami dan empat orang anaknya telah syahid lebih dahulu pada pertempuran itu.
Kenalkan pula wanita yang satu ini. Namanya, Lubabah Kubra (Lubabah binti Harits al-Hilali), istri Abbas bin Abdul Muthalib. Ia termasuk wanita terhormat yang melahirkan banyak tokoh. Lubabah adalah wanita kedua yang masuk Islam di Makkah setelah Khadijah.
Kemudian, wanita bernama Rufaidah al-Anshariah. Dia termasuk perawat wanita pertama dalam sejarah Islam. Tugasnya merawat para tentara yang terluka di medan perang. Pengabdiannya di bidang rawat-merawat ini sangat teruji. Dan dengan sepenuh hati dia mengabdikan dirinya untuk melayani para pejuang Islam. Dialah yang membalut luka Sa’ad bin Abi Waqqash ketika dibawa ke kemahnya sewaktu Perang Khandaq.
Lalu, ada Rumaisha binti Milhan, seorang sahabat wanita yang terpandang. Dia adalah ibu Anas bin Malik yang aktif ikut dalam beberapa pertempuran bersama Rasulullah. Pada waktu Perang Uhud, Rumaisha bertugas sebagai penyuplai minuman para pejuang dan mengobati yang cedera. Pada waktu Perang Hunain dia bersama Aisyah bertugas mengambil air dan membawanya dengan kantong-kantong kulit untuk diberikan kepada kaum muslimin di saat perang sedang berkecamuk, setelah itu mereka kembali lagi mengambil air dan membawanya ke barisan kaum muslimin.
Kemudian wanita yang satu ini. Namanya, Syifa binti Abdullah al-Adawiah al-Quraisyiah. Pada zaman jahiliyah sudah pandai baca-tulis dan setelah Islam dia mengajari Hafsah (salah satu istri Rasulullah) membaca dan menulis. Demi meningkatkan mutu pendidikan dan pengajaran yang dilakukannya, Rasulullah memberikannya sebuah rumah di Madinah. Ia termasuk guru wanita pertama di masa perjuangan Islam.
Demikian sekilas gambaran para “Kartini” di awal sejarah kehadiran Islam. Masih banyak lagi pejuang-pejuang wanita Muslimah lainnya. Mereka telah muncul dan hadir jauh sebelum Ibu Kita Kartini. Dan perjuangan mereka pun tidak hanya berdampak pada skala lokal (wilayah Arab) saja, tapi merambah dunia internasional. Tujuannya pun, tidak hanya untuk kehidupan dunia semata, tapi akhirat. Sebab, misi utama mereka adalah jihad fi sabilillah. Mereka hanya berharap surga dan bertemu Tuhannya, tidak berharap gelar kepahlawanan. Merekalah yang sepatutnya kita teladani.

>>Read_More

#puisi "Remaja"


Remaja
Kita adalah pujangga
Wajah yang tersirat
Tulus dan penuh arti
Kitalah penyongsog
Masa diatas yang tertua

Remaja
Walau jatuh, kita tetaplah kembang
Masa emas bukanlah mimpi
Walau harus terbang
Apalah arti mimpi
Tanpa cinta yang tulus, putih

Remaja
wajah kan menatap seribu mentari
tangan kan genggam sejuta bintang
kita kan terus berjalan, menggapai pelangi

Remaja
Walau badai dan petir menghampiri
Selalu dengan hati senjata diri
Kitalah gagak yang perkasa
Kitalah burung yang bebas
Kita. Adalah kupu-kupu yang indah
>>Read_More

#puisi "Dendam"


Busukmu telah kucium
Dari galaksi abu-abuku ini
Dengan lukisan permata putih
Hanya deras yang megucur

Kau tak butuh kain hitam itu
Aku tlah sampai di sini
Meninggalkan awan gelapku
Tak akan padam kobaran merah ini
Sebelum meledak pengadilan biru tua

Kau adalah dewa kegelapan
Kau dan semua bayangmu!
Tak akan berarti secuil batu ini
Hingga bumi mengayun dan bergoyang
Memuntahkan kau dan semua bayangmu

Kini, aku tlah terbang bersama bayangku
Menari di galaksi yang tak lagi kelabu
Di atas lautan mimpi biru indahku
Walau hanya secuil batu
Terbukti sudah cahaya emasku

>>Read_More

#Puisi "Pesan Pada Sang Surya"


Desah lirih
Dalam hati, suaraku memanggil
Dalam gelap, berlari, mengejar
Berusaha menggapai
Walau hanya angin lalu

Terasa dalam jiwa
Gundah, resah, terhanyut
Dalam lautan keraguan
Tenggelam hingga ke dasar
Tak mampu kembali
Walau hanya tuk sejengkal

Aku ingin kau mendengarku
Hanya kau, bintang tidurku
Sampaikan pesanku pada awan
Yang menutup cahaya siangku

Pergilah, kejarlah
Mentari yang berlalu
Sampaikan semuanya
Tumpahkan segala emosimu
>>Read_More

Sang Penyelamat




               
Kalau saja tak begitu kejadiannya, kalau bukan aku yang mengalami peristiwa itu, pasti tak begini jadinya. Pasti tak ada rasa kehilangan dan duka cita yang mendalam di hati warga dusun Margan Kispu. Aku masih ingat detail kejadianya. Tapi aku takut mengungkapkan yang sebenarnya. Aku takut Ibu dan warga yang lain tak menerima kenyataan yang pahit ini. Aku takut mereka akan menghukumku walau aku tahu ini bukan salahku.


Hari ini hari Minggu, sekolah kami libur. Aku dan kedua adik kembarku, Maryam dan Mutia sudah rapi mengenakan pakaian santai, celana panjang warna gelap yang sudan dimasukkan kedalam sepatu boots kami. Hari ini kami hendak membantu ibu memanen aneka sayuran di ladang sayur peninggalan bapak. Inilah rutinitas kami sebagai warga dusun Margan Kispu yang jauh dari keramaian kota. Siang, selepas sekolah kami –aku dan kedua adikku- makan makanan yang telah diediakan Ibu sebelum pergi berladang , lantas sholat berjamaah dan pergi ke ladang untuk membantu Ibu. Kami baru akan pulang kalau matahari sudah tergelincir,atau bahkan saat hari mulai gelap. Kami memang harus bekerja keras , terlebih sepeninggal bapak. Jadwal belajar, mengaji, dan membantu ibu telah memenuhi hari-hari kami. Ibu memang orang yang keras. Terlebih padaku. satu-satunya anak lelaki dan sebagai anak sulung ibu. Tak ada waktu bermain, hari-hari dipenuhi peraturan, supaya kami lebih disiplin kata ibu. Namun dibalik itu semua, terlihat dari matanya yang teduh , Ibu adalah orang yang lembut dan penuh kasih sayang.

Ibu bergegas mengunci pintu, memimpin kami pergi ke ladang.
“ Ayo cepat! Mutia, Maryam!”  seruku pada kedua adikku. Mereka memang selalu lambat kalau berjalan. Aku berjalan agak cepat berusaha menyamai langkah ibu.
“Bu, apa yang akan kita lakukan nanti bu?”  Maryam bertanya dengan setengah berlari, berusaha menyamai langkah ibu.
“Sudah, kau lihat saja nanti” kata ibu “ayo cepat! Bergegas!” lanjutnya.
Kami pun melanjutkan perjalanan dengan tergopoh-gopoh, setengah berlari berusaha menyamai langkah ibu.

                Kami telah sampai di ladang. Dengan sigap aku dan Maryam mencabut tanaman-tanaman pengganggu dan menyiram tanah yang sudah agak kering. Ibu dan Mutia memanen sayur yang telah siap dipanen.
                “Besok Ibu akan terus berladang sampai malam tiba. Jangan lupa mengaji dan belajar. Pimpin adik-adikmu itu. Jangan berbuat yang aneh-aneh seperti tempo hari lagi. Mengerti kau Adi?”
                “ Ya Bu, Adi mengerti.”
                “ Ya sudah lanjutkan pekerjaan kalian!”
                “ Baik Bu.” kami serempak menjawab.
Aku bersama Maryam melanjutkan pekerjaan kami. Setelah selesai, kami membantu ibu dan Mutia memanen supaya cepat selesai.
               
                Ladang kami memang luas, kami juga memiliki kebun yang lumayan luas. Tak heran kalau sore hari kami baru pulang, setelah sebelumnya ke pasar sayur menitipkan hasil panen kami pada para pedagang sayur dan buah-buahan. Begitu tiba di rumah, aku, Mutia, dan Maryam segera pergi ke sungai untuk mandi. Selepas mandi kami pergi mengaji di rumah Ustad Azwar hingga malam hari. Lalu kami belajar, dan tidur. Jadwal tetap harian kami, takkan pernah berubah.

                Sudah pagi, saatnya pergi ke sekolah. Aku tetap sekolah ,walaupun banyak anak seusiaku di dusun kami yang sudah putus sekolah dan ikut bapak ibunya berladang. Tapi bagi ibu, sekolah adalah nomor satu. Jadi kami harus tetap sekolah walaupun pasti sangat berat bagi ibu untuk mengurus rumah tangga dan ladang hanya seorang diri. Akupun begitu. Menurutku, sekolah adalah hal yang paling penting. Hanya saat istirahat sekolah waktuku bermain. Tak sekolah berarti tak ada waktu bermain, karena kami pasti harus ikut ibu meladang. 


                “Hei!” Lukman, sahabat karibku menepuk pelan bahuku.
                “ Oi! Kau mengagetkanku saja. Ada apa?” balasku.
                “ Apa kau tahu hutan liar di kanan dusun kita?”
                “ Ya, aku tahu. Memangnya kenapa?” semua orang di dusun kami memang tahu hutan liar itu. Tak terkecuali aku.
                “ Apa kau tahu, apa yang aku lihat di sana kemarin?”
                “ Sudah pasti kau melihat pohon, tak ada sesuatu selain pohon disana.”
                “ Oi, bukan itu maksudku. Ada ‘sesuatu’ lain yang menakjubkan!” Lukman berkata dengan mata berbinar, seperti melihat sesuatu yang sangat dahsyat.
                “ Apa itu? Beri tahu aku!” aku mulai tak sabar. Lukman memang selalu berbelit-belit.
                “ Tebak dulu apa itu!”
                “ Apa itu hewan? Kau selalu tertarik pada hewan”
                “ Ya benar! Kau harus melihatnya! ada buaya muara yang rupanya terjebak di sungai .”
                “ Sungai? Maksudmu sungai di tengah hutan itu?”
                “ Ya. Rupanya dia terjebak. Kau harus melihatnya, dia sangat besar dan menakjubkan. sebelum dia menemukan jalan pulang ke rumahnya, kau harus cepat.”
                “ Kelihatannya menakjubkan memang, tapi aku takkan punya waktu bermain, apalagi ke hutan. Itu mustahil ”.
 

Sepulang sekolah, kami melaksanakan kembali kebiasaan rutin kami. Belum ada yang berubah, hingga saat kami pulang mengaji.
“Maryam, Mutia, apa kau punya pengalaman bermain ke sana?”
“ Ke hutan maksud kakak?” Mutia membalas bertanya.
“ Ya. Apa kau pernah bermain ke sana?” aku mengulang pertanyaanku.
“ Tidak kak. Aku tak pernah bermain ke sana.” Mutia menjawab.
“ Bagaimana denganmu Maryam, kau pernah bermain ke sana?” aku bertanya pada Maryam
“ Aku juga tak pernah kak” Kata Maryam.
“Bagus. Mari kita ke sana, sekarang.”
“ Kehutan?”
“Malam- malam begini?” Mutia dan Maryam bertanya hampir bersamaan.
“ Ya. Ayo, lekas. Kita harus lebih dulu tiba di rumah dari pada ibu.”
“Aku tak mau ikut kak” Maryam menolak
“ Aku juga kak. Kami pulang sendiri saja.” Mutia berkata tegas.
“ Tak boleh, aku takkan membiarkan kalian pulang sendiri. Kita pergi bertiga, pulang juga harus bertiga.” aku berkata tak kalah tegas. Kutuntun kedua adikku masuk ke dalam hutan. Kami berjalan bersisihan, menyusuri  hutan dengan jantung berdegup kencang. Takut akan terjadi sesuatu diantara kami.


“ Bukankah ibumu bersama semua orang dewasa di dusun akan pergi berladang hingga malam hari?”
“ Ya . Memang kenapa?
“ Itulah kesempatanmu bermain. Masuk hutan melihat buaya muara.”
“ Mungkin, tapi aku takkan menurutimu pergi kesana”
“ Kenapa? Kau takut?”
“ Tidak” aku menjawab lantang. Aku paling tidak suka kalau dikatakan penakut oleh siapapun.
“ Lantas mengapa kau tak mau pergi?” Lukman masih berusaha membujukku
“ Pokoknya aku tak mau. Tak ada alasan yang bisa diungkapkan, karena aku memang tak mau.” aku menjawab tegas.
“ Berarti benar, kau memang takut.”
“ Tidak, aku tidak takut!”
“ Dasar Adi penakut!”
“ Hei! Apa kau bilang? Aku tak takut!” mukaku mulai merah, geram
“ Kau penakut! Kalau memang tak takut, buktikan!”
“ Baik, nanti   selepas mengaji, tunggu aku di sana, aku pasti datang!” aku mengucapkannya diluar kendaliku. Aku sangat emosi dan tercetuslah janji bodoh itu.


Genggamanku semakin erat,degup jantung semakin jelas terdengar. Bayangan- bayangan buruk yang menghantuiku semakin riang menari dan berputar di pikiranku. Sudah tinggal sepuluh meter saja  jarak kami dengan sungai yang dimaksud. Namun tanda-tanda adanya Lukman masih belum tercium. Aku semakin ragu untuk melanjutkan perjalanan. Bagaimana tidak, obor, satu-satunya petunjuk jalan yang kami bawa mati. Tiba-tiba ada angin kencang tadi, sehingga kami kehilangan penerangan sekarang. Kami berjalan mengikuti kata nurani. Tak ada yang mengerti jalan pulang, karena kami tak berpengalaman pergi ke tempat ini. Semakin melangkah, degup jantungku semakin keras. Ada firasat buruk yang sangat kuat menancap di hatiku. Aku memutuskan untuk berhenti sejenak, menenangkan diri dan memohon petunjuk pada Allah, kemana kita harus pergi.
“Kak, kenapa berhenti?”
“ Tak apa-apa, kakak hanya ingin berpikir sejenak, kira-kira dimana letak rumah kita.”
“ Kak, sepertinya kita harus berbalik, kemudian belok ke kiri. Kulihat di depan ada sungai, tak mungkin kita menyebranginya.” Mutia seakan menjawab keraguanku.
“ Di depan ada sungai katamu?”  aku bertanya pada Mutia
“Ya.” Mutia menjawab tanpa keraguan.
“ Baik, kita akan ke sungai itu” aku bergumam.
“ Sudah cukup kami menuruti kebodohan kakak untuk masuk hutan, sekarang kita harus pulang kak!” Maryam berkata dengan lantang, memecah kesunyian.
“ Sebentar saja, hanya menengok ada apa disana.” aku berkata dengan sedikit ragu.
“ Baik, hanya melihat!” Mutia memutuskan
“Ya. Hanya melihat” aku mengiyakan.

Suasana semakin menegangkan. bagaimana kalau buaya itu tiba-tiba menyerang kami dari belakang? jantungku berdegup semakin cepat.
“Apa itu kak? ada yang mengikuti kita!” Mutia tiba-tiba berseru kencang.
“ BUAYA !!!” Maryam berseru lantang sekali.
“ LARI!! CEPAT LARI!! Kalian berdua pulanglah, aku akan menanganinya” aku berseru tak kalah lantang. Mutia menggenggam tanganku.
“Pulanglah berdua, aku akan mengalihkan perhatian buaya ini”
“Tidak! Kita pergi bertiga, pulang juga harus bertiga.” Mutia mengulang ucapanku tadi.
“Sudah jangan membantah! Pulanglah! Cari pertolongan!” aku setengah mendorong bahu kedua adikku itu supaya mereka menurut. Kini tinggal aku seorang diri. Buaya itu sudah lima meter di depanku. Tiba-tiba Lukman menepuk pundakku.
“ Kau sudah menepati janjimu, sekarang mari kita lawan buaya ini bersama!” Lukman berkata pelan, nyaris berbisik. Semangatku kembali bersinar, aku punya tim sekarang. Kesempatan pulang dengan delamat semakin besar. Jarak buaya dengan kami hanya tiga meter lagi. Mungkin buaya itu sangat lapar, jalannya lamban sekali. Aku dan Lukman sudah bersiap-siap melawan buaya itu. Kami sudah menggenggam bambu runcing di satu tangan dan tangan yang lain saling bergandengan erat satu sama lain.

Jarak buaya itu sudah satu meter lagi. Dengan modal keberanian yang aku kumpulkan sejak tadi dan kekuatan penuh, aku tusuk mata kanan buaya itu. Lukman menusuk mata kiri buaya itu. Tangan kami merah penuh darah, semerah muka kami. Buaya itu tak berhasil kami lumpuhkan. Ia marah, jalannya semakin cepat tak terkendali. Buaya itu tiba-tiba membuka mulutnya dengan lebar. kami sudah siap berlari, namun tiba-tiba kaki Lukman tersandung batu dan jatuh ke belakang. Dengan cepat kaki Lukman terjebak di antara dua batang pohon besar yang tumbang. Aku berusaha menariknya, namun aku kalah cepat dengan buaya itu. Dengan sekejap, kulihat tubuh lukman remuk, hancur, dan akhirnya lenyap ke dalam mulut buaya sialan itu.

``~~~~~~~~``

Sudah terhitung tiga hari setelah peristiwa itu. Aku selamat, aku bersyukur karena itu. Seluruh warga sibuk mencari Lukman sejak tiga hari yang lalu. Mereka tidak bekerja hanya untuk mencari Lukman, anak Kepala Dusun Margan Kispu. Aku tak tahu sampai kapan aku akan diam seperti ini, aku takut mengatakan yang sebenarnya. Aku sudah berjanji pada Lukman, orang yang menyelamatkan nyawaku malam itu. Permintaan terakhir Lukman, dan janjiku yang terakhir padanya. Sungguh, aku takkan berkata pada siapapun tentang ini. Aku berjanji.


”Kakiku sekarang sudah terjebak, tak mungkin bisa kau tarik dengan cepat, mendahului larinya buaya itu. Aku yang memaksamu ke sini, aku yang harus menanggung semuanya. Pulanglah, jangan perdulikan aku. Biarkan aku dimakan buaya ini, jangan berkata pada siapapun tentang apa yang aku lakukan ini. Biarkan aku pergi, jangan kau sakiti buaya ini jika ia memakanku. Sungguh ini adalah salahku dan aku yang harus menanggung akibatnya.”
“ Takkan ku biarkan kau dimakan buaya itu!”
“ Pulanglah! Biarkan aku menanam kebaikan dengan menyelamatkanmu sebelum aku pergi. Pulanglah Adi, pulanglah!”
Air mataku menetes. Kubiarkan aku menangis di depan Lukman. Kubiarkan ia tahu betapa kehilangannya aku padanya. Aku berjanji Lukman, janjiku yang terakhir padamu, dan bukan janji bodoh seperti saat lalu.



>>Read_More